SuaraJakarta.co
Revolusioner, bersih, dan apa adanya. Ia kini bak pemimpin yang didambakan oleh kebanyakan orang.
Namanya Sari Petojo. Bangunan tua bekas pabrik es di daerah Laweyan, Solo, ini tengah “diperebutkan” pemerintah provinsi (yang ingin mendirikan pusat perbelanjaan) dan pemerintah kota (yang ingin mempertahankannya sebagai cagar budaya). Seberapa serius? Yang jelas, cukup panas untuk membuat Gubernur Bibit Waluyo melontarkan pernyataan, “Walikota Solo itu bodoh!”
Keluar dari mulut orang nomor satu di Jawa Tengah, tentu saja komentar itu cukup keras. Bibit menganggap, sudah menjadi hak pemprov untuk mengelola Solo sebagai bagian dari Jawa Tengah, termasuk merubuhkan Sari Petojo dan membangun mal di atasnya. Fortune Indonesia pun pergi menemui sang “walikota bodoh” di rumah dinasnya di Loji Gandrung, Surakarta.
Kepada kami, Joko Widodo, 50, menceritakan perasaannya ketika pertama kali mendengar pernyataan tersebut. “Darah rasanya naik ke kepala semua. Tapi, saya mencoba tenang. Maka itu saya hanya berkomentar, ya sudah, saya memang bodoh, masih harus banyak belajar,” cerita Jokowi, panggilan akrabnya, seraya tersenyum.
Jokowi tipikal pemimpin Jawa yang senang tampil rendah hati dan enggan terang-terangan menonjolkan pencapaian diri. Ia bahkan mengungkapkan keheranannya karena kami mau jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menulis kisahnya. Berkali-kali ia berkata bahwa tidak ada satu pun yang istimewa, yang sudah dikerjakannya di Solo. “Segala yang saya lakukan, bisa dilakukan orang lain di daerah lain, asal saja punya niat dan kemauan,” tegas dia.
Benarkah demikian? Pada Pilkada Solo 2010 lalu, pasangan incumbent Jokowi-FX Hadi Rudyanto menang mutlak atas pasangan Eddy S. Wirabhumi-Supradi Kertamenawi dengan angka 90,09%. Sekadar catatan, partisipasi pemilih Solo adalah yang tertinggi di Jawa Tengah, yakni sekitar 71,80%. Dari 931 tempat pemungutan suara (TPS), Jokowi-Rudy hanya kalah di satu tempat. Jika memang benar tak ada yang istimewa dengan kinerjanya, rasanya sulit membayangkan kemenangan yang begitu besar.
Idealisme barangkali menjadi kata kuncinya. Selama wawancara, Jokowi terkesan santai dan banyak tertawa. Tapi ketika perbincangan sampai ke hal-hal prinsip, ayah tiga anak ini berubah menjadi sangat serius. Keberpihakannya pada usaha kecil dan menengah (UKM), serta pedagang kaki lima (PKL) ditunjukkannya dengan berbagai cara.
Menentang pembangunan mal di atas Sari Petojo hanyalah salah satu di antaranya. Selain tergolong Benda Cagar Budaya (BCB), Sari Petojo berdiri hanya 100 meter dari Pasar Purwosari. Bisa dibayangkan apa efeknya bagi para pedagang kecil jika mal tersebut benar-benar jadi dibangun. Jokowi memberitahu kami, sepanjang kariernya sebagai walikota, ia sudah menerima 12 permohonan membangun mal, serta 130 minimarket—dan berapa yang ia setujui? “Mal hanya satu, minimarket cuma dua belas. Saya tidak anti, hanya membatasi,” kata dia.
Investasi Jokowi pada UKM dan PKL (ia menyebutnya “militansi ideologi”) tidak salah. Dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2010 yang mencapai Rp146 miliar, sektor tersebut merupakan penyumbang terbesar, yakni sekitar Rp19,2 miliar, sementara hotel berkontribusi Rp10 miliar, iklan Rp6 miliar, parkir Rp1,8 miliar, restoran Rp5 miliar. Dan bagi Jokowi, ada bonus manis: ia memenangkan hati rakyat.
Kecenderungannya melindungi usaha kecil dan mikro bukan tanpa alasan. Baginya, realitas ekonomi Solo—dan mungkin Indonesia secara keseluruhan—masih berkisar di angka ratusan ribu rupiah, bukan miliar atau triliun yang datang dari asing. Dalam berbagai kesempatan Jokowi menyebut rakyatnya sebagai “investor”. Ini adalah tanda pertama dari latar belakang Jokowi sebagai pengusaha, yang terproyeksi dalam cara-caranya memimpin kota.
Karena menganggap rakyatnya sebagai investor, Jokowi memperlakukan mereka dengan hati-hati. PKL yang dipindahkan tidak marah karena percaya padanya. Kepercayaan lahir karena Jokowi menepati janji. Lokasi bekas PKL benar-benar dijadikan arena hijau, tidak lantas dijual atau dibuat mal. Jokowi juga selalu menghitung dengan seksama return on investment kota dalam setiap programnya.
Awas, nanti kamu saya hitung.
Para “investor” diperhatikan dan didengar kata-katanya. Inilah yang terjadi ketika Jokowi harus menghadapi protes dari para seniman Solo ketika ia punya ide membangun gedung opera fancy macam Opera House di Sydney. Jokowi gemar menonton pertunjukan, dan pengalaman sebagai pengusaha ekspor memberinya banyak ide untuk diterapkan di Solo. Blontank Poer, blogger asal Solo yang juga stringer harian The Jakarta Post, memberitahu kami bahwa para seniman Solo sempat panik ketika ide itu muncul.
“Ketika itu Jokowi butuh ikon untuk ‘menjual’ Solo, di samping itu beliau memang menyukai seni. Tapi, para seniman takut seni akan menjadi mahal dan elitis, maka mereka mengajukan protes lewat diskusi forum dan berita-berita di media,” cerita Blontank, yang kemudian membawa Jokowi melihat komunitas Salihara di Pasar Minggu, Jakarta. Jokowi pun akhirnya mengalah.
Kedua, soal kesadaran akan branding. Ia mengumumkan slogan baru Solo yang terkenal, yakni “Solo’s future is Solo’s past”, dan melengkapinya dengan berbagai aksi. Arsitektur kuno ia pertahankan, dilengkapi dengan manajemen transportasi yang baik—railbus Wonogiri-Solo telah diresmikan ketika artikel ini ditulis, dan kereta uap Jaladara yang superkuno tetap jalan sebagai objek wisata. Satu kali sewa bayar Rp3,5 juta, bisa untuk 80 orang.
Ada pula bus wisata Werkudara double-decker seperti di London, yang karoserinya buatan Magelang. Tak ketinggalan empat kereta kuda dengan tarif sewa Rp300.000 per hari. “Jadi kalau mau royal wedding seperti William dan Kate, enggak usah jauh-jauh ke London,” ia berkelakar. Urusan transportasi ini bukan tanpa kekurangan. Di sepanjang Slamet Riyadi, ruas jalan utama Solo, berjejer shelter busway dalam keadaan tak terawat, kotor, dan berdebu.
Menurut Aldian A.W., aktivis mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS), shelter tersebut sedianya untuk proyek busway dari pemerintah pusat, bernama Batik Solo Trans. Tetapi, berbeda di Yogya, penjualan karcis belum dilakukan di shelter, melainkan di dalam bis. “Meski proyek ini sudah jalan setengah tahun, belum ada tanda-tanda akan segera mengadopsi sistem seperti di TransJogja,” kata Aldi.
Namun, Jokowi menganggap situasi tersebut tidak terhindarkan. Pasalnya, tidak semua warga Solo siap dengan sistem busway. Awal pelaksanaan malah mengundang cerita lucu. Banyak warga yang kesal karena tidak boleh mencegat bus dan turun di sembarang tempat, lantas memukul supir. “Itu semua bagian dari edukasi masyarakat,” kata dia.
Selain city branding, ada pula personal branding. Ya, positioning yang ia ambil sejauh ini terbukti efektif: pemimpin yang dekat dengan rakyat, tak ragu turun ke jalan (“Saya asli orang lapangan!”), dan revolusioner. Ia juga selalu bersikap apa adanya. Jika ada kesalahan, ia mengakui dan memperbaikinya, bukan menghindar.
Ia paham masyarakat sudah muak dengan sosok pemimpin yang tidak mau disalahkan. Jokowi juga mendapat berbagai penghargaan seperti Bung Hatta Award 2010 dan Tokoh Pilihan Tempo 2008, namun tetap merasa “belum apa-apa dan bukan siapa-siapa”—salah satu jurus personal branding yang makin bikin rakyat tergila-gila padanya.
Jika kita berselancar sejenak di internet dan mengetik nama walikota Solo ini, niscaya akan muncul berbagai gerakan yang mengusung namanya. Mulai dari Ketua Umum Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), Gubernur DKI, sampai Presiden Republik Indonesia 2014. Tampaknya, keberhasilan Jokowi mengubah wajah Solo menjadikannya semacam juruselamat yang akan mampu mengubah apa saja. [bersambung]
Sumber : Seperti dimuat dalam majalah Fortune Indonesia Vol. 21, beredar sampai 25 September 2011, dan dikutip dari blog ini