SuaraJakarta.co, STUTTGART – Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) mengirimkan delegasi untuk mempelajari sistem dan manajemen Kantor Transfer Teknologi (KTT) ke Steinbeis Head Quarter, Stuttgart, Jerman. Delegasi yang terdiri dari seluruh manajer operasional MITI Pusat akan belajar dan mendiskusikan konsep KTT yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia hingga tengan bulan November mendatang.
Salah satu permasalahan yang membelit kemajuan teknologi di Indonesia adalah belum menyebarnya hasil penelitian kepada masyarakat secara optimal. Padahal, teknologi yang telah dihasilkan dapat menjadi potensi untuk menyejahterakan rakyat. Banyak pihak belum menyadari bahwa banyak produk berteknologi yang dihasilkan industri di Indonesia hanya sekadar rakitan produk teknologi luar. Padahal, dari segi kemampuan, ilmudan dan teknolog Indonesia memiliki kapabilitas. Tak sedikit di antara mereka yang tersohor menjadi tokoh berkelas dunia.
MITI merupakan lembaga yang bergerak dalam pemanfaatan teknologi untuk kebutuhan masyarakat. Tugas utama MITI ialah menjembatani hasil riset yang dilakukan oleh para ilmuwan dan teknolog agar dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan dan menyejahteraan rakyat. Dalam upaya tersebut, MITI melakukan kerjasama dengen Steinbeis. Steinbeis adalah lembaga independen di Jerman yang telah lebih dari tiga puluh tahun berkompeten menangani transfer teknologi. Steinbeis telah memiliki jaringan di banyak negara, termasuk Malaysia, Jepang, India, dan negara-negara lain di seluruh dunia.
Direktur Business Technology Incubation Center (BTIC) MITI, Dr. Ir. Sri Harjanto (Assoc. Prof.), mengatakan bahwa masih sedikit keseuaian antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset yang dihasilkan oleh para ilmuwan dan teknolog. “Saat ini para peneliti terutama yang berasal dari perguruan tinggi melakukan penelitian lebih berorientasi pada keinginan untuk menemukan atau meciptakan teknologi dan membuat publikasi ilmiah, belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan industri dan masyarakat,” jelas Harjanto Harjanto yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Teknik Matalurgi dan Material FTUI ini juga menambahkan bahwa KTT yang akan MITI bangun di Indonesia mengusung konsep budaya lokal.
Pengiriman seluruh manajer operasional MITI ke Jerman untuk mendapatkan pelatihan seluruhnya dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI melalui skema program Riset-Pro. Pasca pelatihan, MITI akan membangun KTT pertama di Indonesia yang berasal dari inisiatif dalam negeri. TTO ini akan membantu para peneliti dan industri menyamakan persepsi kebutuhan dan mengembangkan R&D di Indonesia. “MITI memiliki banyak jaringan peneliti dan industri baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri saja, MITI memiliki anggota lebih dari 300 ilmuwan dan teknolog di berbagai bidang. Potensi pengembangan industri dari dalam negeri tentu akan menjadi lebih kuat dengan kemampuan ilmuwan dan teknolog dalam negeri ini,” ungkap Sri.
Kerjasama pembangunan KTT pertama di Indonesia ini telah diinisasi sejak akhir tahun lalu. Ditandai dengan hadirnya pihak Steinbeis di Indonesia pada MITI Forum bulan April silam dan penandatanganan MoU dua bulan setelahnya, KTT yang digarap MITI ini akan memberikan pelayanan Active Short Consultancy dan Special Consultancy kepada para pemegang kebijakan industri, praktisi, dan pebisnis di berbagai bidang yang membutuhkan sentuhan industri. Para pemangku kepentingan dapat langsung menghubungi MITI jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan mengenai teknologi yang mereka alami untuk diberikan bantuan konsultasi.
“Komersialisasi teknologi hasil riset merupakan kunci utama kemajuan Indonesia tanpa tergantung perkembangan politik,” ucap Dr. Warsito P. Taruno, Ketua Umum MITI di sela MITI Forum bulan April lalu. Harapan di masa yang akan datan teknologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan dan teknolog di Indonesia tidak hanya menjadi pajangan atau bahkan terbengkalai di laboratorium. Teknologi yang dikembangkan tentunya harus mempunyai nilai guna. (DWH)