SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara menegaskan yang berhak untuk menilai hasil audit investigasi BPK sah atau tidaknya bukanlah BPK, melainkan hakim di pengadilan.
“Untuk ‘menterjemahkan’ hasil audit BPK, nantinya hakim di pengadilan akan memanggil ahli untuk mempresentasikannya. Atau BPK sendiri yang mengirimkan orang yang mengaudit untuk memberikan keterangan di pengadilan,” jelas Yusril sebagaimana dikutip dari laman Aktual.com, Sabtu (18/6).
Oleh karena itu, Yusril menilai bukti BPK berupa hasil audit investigasi itulah yang akan dinilai sesuai fakta atau ditidak. Yusril membandingkat audit investigasi tersebut dengan bukti visum et repertum atau keterangan tertulis dokter ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik.
“Misal ada orang dibunuh, diracun, mati, terus dilakukan bedah mayat oleh dokter Mu’nim Idris misalnya. Hasil bedah mayat itu bukti seperti hasil auditnya BPK,” beber Ketua Umum DPP PBB ini.
Sambung Yusril, “Apakah polisi bisa menilai hasil bedah mayat itu? Enggak bisa. Dia enggak bisa nilai. Jadi hasil visum itu adalah bukti surat.”
Nantinya, bukti surat tersebut disampaikan ke pengadilan dan si dokter dipanggil untuk menerangkan apa yang dilakukan saat membedah mayat. Ahli terkait pun bisa dipanggil untuk menerangkan apa yang dikerjakan dokter.
“Yang membuktikan alat bukti itu bisa digunakan atau tidak digunakan sebagai alat bukti itu hakim, bukan penyidik. Penyidik tidak bisa menilai,” ucap dia.
Politisi asal Belitung ini juga mengingatkan, bahwasanya sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), alat bukti pada suatu perkara hukum tertuang dalam Pasal 184 KUHAP. Rinciannya, keterangan saksi, terdakwa, ahli, surat-surat.
Sedangkan seseorang ditetapkan sebagai tersangka karena minimal telah ada dua alat bukti pendahuluan yang mencukupi. Sehingga, visum et repertum tadi ataupun audit BPK harus diterima sebagai suatu kebenaran. “Nanti pengujian materiilnya benar atau tidak, itu pengadilan,” tutup mantan Menteri Hukum dan HAM