SuaraJakarta.co, JAKARTA – Memasuki hari jadinya pada 8 Agustus 2015, ASEAN masih dilanda persoalan di bidang Hak Asasi Manusia (“HAM”). Pembersihan etnis Rohingya sejak berpuluh-puluh tahun lamanya di Myanmar hingga hari ini masih terus berlangsung dan belum terselesaikan. Ini adalah catatan kelam HAM di ASEAN, dimana jutaan orang Rohingya yang telah hidup dan menetap di Myanmar sejak berabab-abab lalu diperangi secara kejam dan tidak tidak manusiawi oleh penduduk mayoritas dan pemerintahnya sendiri. Rohingya juga dibiarkan hidup terkatung-katung sebagai pencari suaka dan pengungsi tanpa identitas kewarganegaraan (stateless).
Penderitaan Rohingya tidak hanya sebatas itu dan bahkan terus meluas. Mereka menjadi manusia paling teraniaya di muka bumi. Bagaimana tidak, Rohingya menjadi satu-satunya etnis yang tidak diakui di Myanmar, tidak mendapatkan hak pendidikan, tidak boleh menikah tanpa izin pemerintah, tidak boleh memiliki anak lebih dari dua, dan bahkan tidak memiliki kemerdekaan bergerak. Sejak lahirnya UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, Rohingya telah diperlakukan sebagai imigran gelap di tanah airnya sendiri. Kekayaan alamnya diambil, tempat tinggal dan rumah ibadahnya di hancurkan, harta benda dirampas, dan wanita-wanita Rohingya diperkosa. Fakta menyedihkan ini masih terus terjadi dan tanpa bisa dihentikan oleh ASEAN bahkan PBB sekalipun, ungkap Heri Aryanto, Advokat yang saat ini menjabat sebagai Koordinator Advokasi Pengungsi di SNH Advocacy Center.
ASEAN sendiri sebagai lembaga yang menaungi negara-negara di kawasan Asia Tenggara menurutnya harus bisa mengambil peran strategis sebagai lembaga penyelesai persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat ASEAN. Terlebih, apa yang dialami Rohingya sudah merupakan kejadian luar biasa dan patut diduga sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. ASEAN harus bisa bertindak terhadap Myanmar sesuai komitmennya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan di ASEAN.
“Genosida dan kejahatan kemanusiaan di Myanmar telah mencoreng kredibilitas ASEAN di dunia internasional” ujarnya.
Untuk itu, momen peringatan hari jadi ASEAN ke-48 tahun ini seharusnya dijadikan sebagai peristiwa bersejarah bagi ASEAN untuk menyelesaikan persoalan HAM di Myanmar dan mengembalikan hak kewarganegaraan penuh Rohingya sebagaimana mandat Resolusi PBB. Komisi HAM yang telah dibentuk ASEAN (AICHR) juga harus dimaksimalkan untuk menjalankan peran-peran strategis ASEAN tersebut.
“Mereka harus bisa berkerja secara nyata dan signifikan dalam menyelesaikan persoalan HAM di Myanmar, tidak cukup hanya melakukan pelatihan, workshop, dan penelitian”, pungkas Heri.