SuaraJakarta.co, JAKARTA – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tetap yakin bahwa Peraturan Bersama 2 Menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) tentang Pendirian Rumah Ibadah Nomor 9 dan 8, masih mutlak diperlukan. Hal itu disampaikan Lukman dalam menanggapi sebuah petisi online di laman change.org yang dibuat oleh seorang netizen bernama Yanto Huang.
“Terima kasih atas petisi kepada saya yang meminta dicabutnya Surat Bersama Menteri perihal Pengaturan Pendirian Rumah Ibadah. Melalui tanggapan ini, saya menyampaikan bahwa di tengah masyarakat majemuk yang religius seperti Indonesia, adanya aturan yang dibuat dan disepakati bersama tentang pendirian rumah ibadah itu mutläk diperlukan,” tutur Lukman pada Kamis (5/11).
Dalam menanggapi petisi yang telah ditandatangi oleh lebih dari 26 ribu ini, Lukman menjelaskan bahwa aturan tersebut masih tetap dibutuhkan sebab kalau tidak ada yang akan terjadi justru adalah hukum rimba, “Yang merasa besar dan mayoritas akan makin terdorong untuk main hakim sendiri,” tambah Menteri Agama sejak era Presiden SBY yang menggantikan Surya Dharma Ali ini.
Menteri Agama juga menambahkan, jika isi peraturan tersebut dinilai tidak lagi memadai, pihaknya terbuka untuk menerima saran konkret demi menyempurnakannya.
“Bila kita menilai saat ini isi aturan itu tak (lagi) memadai, mari kita bersama menyempurnakannya, bukan justru menghilangkannya. Saya menyambut positif apabila ada usulan konkret untuk menyempurnakannya,” tambahnya.
Selain ditujukan kepada Menteri Agama, petisi tersebut juga ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan jajarannya, antara lain Menteri Dalam Negeri, Menkopolkam, dan Jaksa Agung.
Sebagaimana diketahui, Yanto Huang memulai petisi di Change.org menyusul penyerangan dan pembakaran sebuah rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil. Menurut Yanto, dalam petisinya, konflik tersebut terjadi akibat adanya aturan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai pembangunan rumah ibadah. Aturan tersebut mensyaratkan dukungan minimal 60 orang bagi warga yang ingin membangun rumah ibadah.
“Bagaimana dengan penganut agama minoritas di suatu daerah yang ingin beribadah? Ini bisa jadi landasan penindasan kaum minoritas,” kata Yanto dalam petisinya.