Dinilai Menghilangkan Independensi, PAHAM: Tolak RUU Advokat‏

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Ratusan advokat yang tergabung dari berbagai elemen, hari ini (11/9/2014) menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak RUU Advokat yang akan menggantikan UU Nomor 18/2003 tentang Profesi Advokat. Unjuk rasa tersebut terkait akan adanya beberapa perubahan substansial tentang kelembagaan advokat. Salah satunya adalah mengenai mudahnya ketentuan pembentukan lembaga advokat, yaitu minimal hanya dibentuk oleh 35 anggota.

“Kami menolak pembentukan wadah-wadah advokat. Bagi organisasi independen, aturan seperti itu tidak baik”, kata Nicholas Sinaga, Anggota Peradi, sebagaimana dikutip dari Republika Online 11 September 2013. Di lain sisi, Coki TN Sinambela, Ketua Serikat Pengacara Indonesia DKI, menganggap mudahnya pembentukan lembaga advokat tersebut akan banyak melahirkan advokat-advokat preman dan mafia kasus (Liputan 6, 11 September 2014)

“Bayangkan, anggota Peradi saja 35 ribu orang. Kalau 35 orang boleh mendirikan organisasi advokat, maka akan ada 1000 organisasi advokat dan semuanya boleh mengangkat advokat”, Tegasnya.

Mengancam Independensi

Selain itu, beberapa persoalan yang disoroti oleh para advokat saat melakukan demonstrasi tersebut adalah persoalan pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN). Dalam RUU tersebut, proses pemilihan dan pembentukan anggota, serta pemberian dana operasional kelembagaan, berasal dari negara. Menurut PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia), hal tersebut dapat menjadikan advokat tidak lagi dalam posisi yang independen.

“Ada pihak-pihak yang mencoba melemahkan profesi advokat yang merupakan profesi mulia (ovicium nobile). Sehingga, sangat berbahaya bagi mereka para pencari keadilan yang akan berhadapan dengan penguasa”, Tutur Sylviani Abdul Hamid, sekjen PAHAM, melalui rilis yang diterima oleh redaksi.

Oleh karena itu, sambungnya, organisasi advokat yang terlah memiliki cabang di 22 Provinsi tersebut meminta masyarakat untuk terus mengintervensi atas pembahasan RUU Advokat ini. Karena, jika kasus yang diperkarakan berhadapan dengan penguasa, hal tersebut dapat merugikan masyarakat pencari keadilan. (ARB)

Related Articles

Latest Articles