SuaraJakarta.co, JAWA BARAT — Aksi penolakan PHK terhadap 49 buruh-buruh PT Madusari Nusaperdana yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) dengan alasan pelemahan rupiah berujung pada pembubaran secara paksa oleh aparat kepolisian kemarim malam (7/9/2015), tindakan represif kepolisian tersebut mendapat respon dari FPBI dan SBTPI yang melakukan aksi solidaritas mengecam tindakan represif tersebut di disnaker provinsi DKI.
Ilhamsyah Ketua Umum SBTPI dalam keterangannya melalui telpon mengatakan : “Kami mengutuk keras cara cara represif yang dilakukan kepolisian dalam penyelesaian persoalan perburuhan. Sudah seharusnya aparat keamanan tidak lagi terlibat dalam upaya pengamanan terhadap konflik yang terjadi di pabrik. Karena selalu berada dipihak pengusaha”
Ilhamsyah juga menambahkan “Kekerasan yang terjadi terhadap buruh PT. Madusari adalah merupakan bukti bahwa pemerintah yang saat ini berkuasa masih berpandangan lebih mementingkan stabilitas investasi ketimbang memberikan perlindungan terhadap buruh”.
Sementara Suaib ketua Fomasi IISIP mengatakan : “Represif yang dilakukan oleh kepolisian terhadap buruh PT. Madusari adalah bukti bahwa saat ini pemerintah sedang kembali menghidupkan cara cara militerisme dalam menangani konflik di masyarakat. Dimana sebelumnya Petani di berbagai daerah juga dihadapkan langsung dengan kekuatan bersenjata ketika melakukan tuntutan terhadap hak rakyat yang dirampas oleh konspirasi modal”.
Berikut adalah kronolologis kasus PHK PT Madusari Nusapersada yang berlokasi di Kawasan Industri Jab abeka, Cibitung, Bekasi serta peristiwa pembubaran paksa oleh aparat kepolisian;
Tanggal 1 September 2015, manajemen menyampaikan merumahkan 49 buruh PT Madusari Nusapersada, dari tanggal 2 sampai dengan 12 September 2015, dengan alasan efisiensi akibat pembengkakan biaya produksi sebagai imbas dari melemahnya rupiah.
Serikat buruh menolak alasan perumahan tersebut dan jika masalahnya adalah cost produksi, serikat menawarkan untuk menghemat biaya dengan bersedia dipotong tunjangan transport sebesar Rp.19.000 x 25 hari kerja x 230 anggota serikat yang bisa menghemat kurang lebih 109 juta per bulan. Tetapi usulan tersebut tidak direspon oleh manajemen perusahaan.
Perusahaan masih mempekerjakan 10 buruh magang dari LPK yang substansinya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ke-49 buruh yang dirumahkan sebagian besar adalah anggota dan pengurus aktif serikat termasuk wakil ketua aerikat buruh.
Tanggal 7 September 2015, pukul 16.00 WIB, manajemen mengundang serikat dan menyampaikan bahwa ke-49 buruh yang dirumahkan akan di PHK per tanggal 12 September 2015 tanpa mau merundingkan alasan-alasan dan kemungkinan solusi untuk pencegahanya.
Pukul 16.30 WIB, serikat melakukan mogok kerja di dalam area perusahaan dan tidak mau keluar gerbang. Pukul 17.30 WIB, security membagikan selebaran yang isinya adalah salah satu pasal dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dimana jika buruh melakukan tindakan yang merugikan perusahaan lebih dari 5 juta dan sanksi SP 3.
Pukul 19.00 WIB, manajemen memasukan karayawan baru dengan menggunakan mobil Avanza sebanyak 2 mobil melalui gerbang samping. Pukul 19.00 WIB, terjadi keributan antara buruh yang melakukan mogok di dalam pabrik, untuk menahan masuknya karyawan baru, tetapi tidak berhasil ditahan karena langsung diamankan oleh security.
Pukul 19.20 WIB, buruh PT Madusari Nusapersada yang bekerja di shift 1 memberikan solidaritas di luar, dan bergerak maju ke gerbang untuk mengantisipasi masuknya karyawan baru masuk ke dalam pabrik.
Pukul 20.00 WIB, intel Polres memanggil Ayas, salah satu pengurus serikat untuk mengingatkan agar membubarkan aksi mogok kerja. Pukul 20.05 WIB, massa di luar dibubarkan paksa melalui provokasi menarik Ayas.
Pukul 23.25 WIB, buruh yang bekerja di shift 2 dan 3, yang bertahan di pabrik dibubarkan paksa dengan kekerasan oleh aparat kepolisian. Beberapa orang buruh bahkan sempat dipukul dan ditendang oleh pihak aparat kepolisian.
Sampai berita ini diturunkan para buruh masih melakukan konsolidasi untuk menyikapi peristiwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan kelanjutan penanganan kasus PHK para buruh. (AN)