SuaraJakarta.co, JAKARTA – PT MRT Jakarta terus berbenah untuk mempercepat penyelesaian pekerjaan yang ditargetkan rampung sekitar Februari 2019.
Salah satu aspek yang juga penting untuk diperhatikan adalah terkait adanya regulasi, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun legalitas untuk menjadi punya hukum.
Salah satu payung hukum yang masih memiliki kekosongan aturan adalah pemanfaatan ruang publik di bawah tanah untuk komersialisasi. Yaitu, jalur (trase) tempat jalur MRT di fase kedua, sepanjang Bunderan HI hingga Kota Tua.
“Bahwa untuk pengelolaan kawasan yang nantinya ada aspek publik dan komersial, itu membutuhkan peraturan perundang undangan yang lebih kuat,” jelas Dirut MRT Jakarta William Sabandar dalam acara press conference di Balai Kota, Selasa (5/12).
Selama ini, acuan UU Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan Ruang sebagai payung hukum belum mengatur ruang bawah tanah untuk pemanfaatan komersial.
Sehingga, landasan hukum yang digunakan hanya sebatas Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dengan Peraturan Pelaksana yang diatur dalam Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 167 tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah.
“Harmonisasi pengaturan dan koordinasi ruang di bawah tanah sangat penting terutama karena jalur MRT Jakarta menggunakan akses terowongan bawah tanah dan perlu membangun sarana pendukung lainnya yang bersifat komersial karena PT MRT Jakarta juga berperan sebagai operator utama Kawasan Transit Oriented Development (TOD),” tambahnya.
Acara ini turut mengundang beberapa pemangku kepentingan, baik dari pusat maupun daerah. Seperti Menteri Agraria dan Tata Ruang, Mendagri, Kepala BPTJ Kemenhub RI, dan sebagainya. Serta beberapa pakar yang membidangi persoalan kebijakan publik dan transportasi, seperti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Institut Otonomi Daerah, dan sebagainya. (RDB)