SuaraJakarta.co,JAKARTA – Direktur Bisnis, Marketing Komunikasi PT Persija Jaya Jakarta Budiman Dalimunthe mengatakan di usianya yang memasuki 87 tahun, Persija Jakarta masih terbelit banyak masalah. Mulai dari penunggakan bayar gaji pemain, ketidakadaan stadion, hingga kian menurunnya prestasi tim.
Hal itu menurut Budiman dikarenakan lebih karena tidak adanya kompetisi reguler yang berjalan secara rutin. Sehingga, para investor yang ingin memberikan sponsor menjadi enggan untuk menanam saham kepada klub yang memiliki ribuan suporter fanatik ini.
“Sebenarnya banyak yang mau menanamkan uangnya di Persija. Tapi, apa yang mau dijual di situasi sekarang. Kompetisinya tak jalan. Investor kan maunya kompetisi jalan,” jelas Budiman sebagaimana dikutip dari laman Goal Indonesia, Sabtu (28/11).
Sebenarnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat berminat untuk membeli saham Persija, melalui PT Jakarta Propertindo. Tapi, rencana tersebut urung terlaksana.
“Proses negosiasi dengan Pemda, saya sempat ikut. Tapi, tak ada kemajuan yang ditemukan hingga sekarang. Sampai akhirnya, kami sempat membuka pembicaraan dengan pihak lain,” tambahnya,
Dua Kali Kehilangan Stadion
Selain soal minimnya investasi, nasib Klub Macan Kemayoran ini tidak berkembang karena dua kali harus dikalahkan oleh Pemprov DKI soal stadion. Klub yang berdiri pada 28 November 1928 itu, pertama kali harus merasakan pahitnya dihancurkan “rumahnya” Stadion Menteng pada 26 Juli 2006 oleh Gubernur Sutiyoso. Setelah itu, pada 8 September 2015, markas Macan Kemayoran di Lebak Bulus pun harus mau dihancurkan oleh Gubernur DKI Ahok dengan alasan untuk beralih fungsi menjadi depo terminal MRT. Imbasnya, Persija hanya bisa memakai Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, sebagai markas mereka.
Itu pun masih sering terusir lantaran kerap terbentur izin keramaian dari pihak kepolisian. Sehingga membuat mereka kadang menjadi tim musafir. Jangankan untuk bertanding, untuk berlatih pun skuat Persija harus berpindah-pindah tempat.
Janji Jokowi, gubernur DKI sebelum maju menjadi presiden pun, hanyalah tinggal kenangan, untuk menjadikan Stadion BMW di Jakarta Utara pun hanyalah tinggal kenangan. Hingga saat ini pembangunan stadion itu masih belum terealisasi.
“Kami berharap segera dibangun stadion untuk Persija. Selain itu, stadion itu juga bisa digunakan untuk memutar kompetisi internal Persija. Karena yang kami gunakan saat ini bisa dibilang tidak layak,” kata Elbiner Tobing, pengurus dari klub PS Mahasiswa.
Menurutnya, Lapangan Banteng yang digunakan untuk memutar kompetisi internal kurang memadai. Belum lagi, masalah biaya juga kerap menjadi penghambat bergulirnya kompetisi secara rutin. “Seharusnya pertandingan di kompetisi internal bisa diputar secara rutin setiap pekan. Tapi, ini bisa saja sebulan atau dua bulan sekali baru diputar,” bebernya.
Maka itu, pria yang juga menjabat sebagai ketua Komite Pemilihan ketua umum Persija periode 2015-2019 ini, mengimbau agar pengurus Persija yang baru nantinya bisa bersinergi dengan Pemprov DKI Jakarta.
“Intinya, kedua pihak harus saling ketemu agar permasalahannya bisa dipecahkan bersama,” jelasnya.
Di sisi lain, pada ulang tahunnya kali ini Persija mengusung tema “Spirit To Basic”. Tema itu sendiri dipilih dengan harapan bisa kembali membawa kejayaan bagi Persija seperti era kompetisi Perserikatan. Di mana kala itu tim Macan Kemayoran berhasil meraih sembilan kali juara. Gelar juara terakhir di kompetisi kasta tertinggi dirasakan Persija saat menjuarai Liga Indonesia 2001.
Salah satu yang paling mencolok untuk mendukung tema tersebut adalah dengan mengembalikan warna jersey tim ke merah, mulai tahun depan. Seperti diketahui, saat ini Persija masih mengenakan jersey berwarna oranye.
Jersey oranye yang masih dikenakan Persija di turnamen Piala Jenderal Sudirman.
“Oranye itu kan pas zamannya Gubernur Sutiyoso. Aslinya Persija itu merah. Sekarang pun oranye-nya sudah mulai kelihatan agak kemerah-merahan. Tapi nanti akan merah sepenuhnya,” kata Isran Naamin, salah satu pengurus klub internal Persija. (iman)