SuaraJakarta.co, JAKARTA – Februari 2015 adalah bulan yang buruk bagi dunia pelayanan kesehatan Indonesia. Bayangkan ditengah Indonesia menuju MDGs 2019, 5 orang pasien mati karena buruknya pelayanan di RS.
Kasus pertama terjadi di kabupaten bekasi tepatnya di RSUD Cibitung. Wandi (27) warga Vila Mutiara, penderita infeksi paru paru, peserta BPJS kelas 2 dengan no. JKN 0001475721213. Bernasib naas harus menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Cibitung setelah selama 3 hari di IGD tidak ditangani serius dan tidak mendapatkan obat yang dibutuhkan karena obat di RSUD Cibitung habis.
Kasus kedua adalah matinya 2 pasien di RS Siloam Tangerang akibat kesalahan menyuntikan obat anastesi yang disebabkan label obat dan isinya tidak sesuai. Kedua pasien mengalami gatal gatal yang disusul kejang kejang dan berakhir dengan kematian
Kasus ketiga adalah bayi 12 hari bernama Habibah yang telah wafat di RS Sentra Medika Cikarang, jenazahnya ditahan oleh pihak RS hanya karena harus membayar 24 juta sementara orangtuanya hanya sanggup membayat 6 juta.
Rentetan kasus diatas sangatlah memperihatinkan kita semua dan menambah panjang daftar hitam buruknya layanan kesehatan di Indonesia.
Agung Nugroho, ketua nasional Rekan Indonesia menyayangkan hal tersebut terjadi ditengah carut marutnya jaminan kesehatan di Indonesia.
“Kami sangat menyayangkan hal tersebut terjadi. Ditengah kita semua sedang menyoroti carut marutnya BPJS dalam menjalanan jaminan kesehatan, ternyata kita masih saja dihadapkan oleh buruknya pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh RS.”
“Dan ini menunjukan sekali lagi bahwa pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI dan dinas kesehatan telah lalai dalam menjalankan amanat UU RS tentang pengawasan dan pembinaan terhadap RS. Dimana pemerintah selama ini tidak pernah memberikan sangsi yang tegas terhadap RS yang karena kelalaiannya dalam menjalankan pelayanan kesehatan menyebabkan kematian” ujar Agung.
“Ditambah lagi pemerintah juga lengah dalam hal kontrol terhadap obat obatan yang ada di RS. Sehingga kesalahan pelebelan nama obat yang tidak sesuai dengan isinya bisa tidak terdeteksi dan baru sibuk menelusuri setelah adanya kejadian di RS. Apesnya kejadian tersebut menyebabkan matinya rakyat yang seharusnya mendapat perlindungan dari negara”
Agung menambahkan “Kami berharap Kemenkes RI tidak lagi hanya melakukan tindakan yang normatif dalam menindaklanjuti kasus yang terjadi selama bulan Februari ini. Yang dibutuhkan dunia pelayanan kesehatan adalah sikap tegas Kemenkes RI dalam menegakan UU RS dalam hal pengawasan dan pembinaan terhadap RS agar tidak lagi terjadi kasus kasus yang menyebabkan kematian terhadap pasien”
“Dalam hal ini perlu kiranya Kemenkes RI mengeluarkan kebijakan terobosan yaitu didirikannya pos pos pengawasan dan pengaduan layanan kesehatan di setiap RS di negeri ini dan memaksimalkan peran komite medik dalam upaya mengontrol jenis obat yang dipergunakan di RS. Sehingga kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia semakin baik” usul Agung.