Anak gadisnya tengah beranjak remaja. Wajahnya yang cantik bersahaja ternyata mengundang simpati seorang pria. Sang pria pun tak ragu menunjukkan cintanya pada sang gadis, hampir tiap hari ia kirimi makanan ke rumah si gadis untuk menu makan siangnya . Hari ini gado-gado, esok mie ayam, kadang donat merk terkenal dari mall terdekat.
Sambil mengantarkan makanan, ia sempatkan mampir dan mengajak ngobrol si gadis. Si gadis pun jadi terharu, dan jatuh simpati pula. Lagipula, usianya yang baru belasan memang tengah suka diperhatikan lawan jenis.
Si ayah mengawasi semua itu dengan seksama, namun tak melarang pria itu datang. Namun ia mulai khawatir saat anak gadisnya mulai resah jika pria itu tak datang.
Maka, sang Ayah pun mengeluarkan fatwa kepada anak gadisnya yang baru kelas 2 SMU itu. Katanya,”Nak, kita ini dari keluarga berkecukupan. Bapak ini sarjana dan pegawai negeri. Kakak-kakakmu juga sarjana dan hampir jadi sarjana, kerjanya pegawai kantoran. Saudara ayah di kampung juga bukan orang sembarangan, ada yang juragan tanah, kepala sekolah, pegawai negeri, pegawai bank, perawat, dosen, semua jelas kerjanya apa. Ga ada yang jadi pedagang kaki lima. Itu laki-laki yang tiap hari datang ke sini kan cuma tukang jual gado-gado gerobak kaki lima, ga pantas bersanding sama kamu. Kalau kalian pacaran, temenan, kenal biasa saja boleh. Tapi, jangan sampai kamu nanti nikah sama dia ya!”.
Anak gadisnya hanya mengangguk mengiyakan, diam.
Masih tak yakin, sang Ayah akhirnya curhat kepada pak Haji, tetangganya. Semua proses ia ceritakan, Pak Haji pun terkekeh.
“Lho, pak Haji kok ketawa sih? Kasih saran dong!”, jawab si Ayah galau.
“Sampeyan ini lucu. Anak gadis kok dikasih deket-deketan sama laki-laki bukan muhrim. Tapi dilarang nikah sama dia. Namanya perempuan kalau diperhatikan laki-laki ya tentu senang, mabuk kepayang, jatuh cinta. Kalau udah cinta, susah ngelupain. Trus sampeyan larang nikah sama dia. Logikanya lucu”, papar pak Haji.
Si ayah galau mengkerutkan dahi,”Kok lucu?”, protesnya.
“Begini, nikah itu hukumnya jadi wajib jika mencegah zina. Jadi supaya ga zina, dinikahkan saja. Nah, anak gadis Sampeyan dikasih ijin untuk pacaran, apa itu bukan ngasih jalan ke arah zina? Justru mereka wajib dinikahkan, udah sama-sama mabuk kepayang, bukannya malah dilarang nikah..”
“Pak Haji ini ga realistis, anak saya masih sekolah. Terus laki-laki itu cuma pedagang gado-gado gerobak. Kami kan keluarga berada. Gimana kata keluarga di kampung kalau tau anak saya nikah sama tukang gado-gado? Saya jelas ga kasih ijin mereka. Kalau kenal, pacaran biasa bolehlah. Tapi ga usah sampe nikah”.
“Kalau memang ga mau anak sampeyan nikah sama dia, ya jangan dikasih lah pacaran sama lelaki itu. Cukup, distop dari awal. Sekali tidak ya tidak, jangan separuh-separuh jagain anak. Kalau ngasih ijin dia pacaran, ya segera kasih ijin nikahin. Kalau ga rela nikahin sama tukang gado-gado, ya ga usah dikasih ijin pacaran. Titik. Jangan bikin mainan hati orang, hati anak gadis..” tegas pak Haji.
Si ayah galau menarik nafas,”Jadi saya harus tegas dari awal ya?”
“Ini bukan soal status aja ya. Kalau saya sih ingin mencegah zina. Gitu aja. Kan ayatnya jelas: jauhi zina. Trus syariahnya jelas: nikahkan jika khawatir zina. Kebanyakan orang tua jaman sekarang kan malah kebalik: biaron pacaran, tunda nikah sampe mapan. Ntar kalau tau-tau anak gadisnya hamil di luar nikah, atau anak lelakinya ngehamilin anak gadis orang baru ribut. Anak diomelin. Bahkan ada orang tua yang ngusir anaknya gara-gara hamil di luar nikah. Padahal itu anak masih tanggung jawabnya. Nanti ditanya tuh di akhirat,” pak Haji ga bisa berhenti berbicara, nyaris emosi.
Ayah galau itu pun mulai faham. Lalu pamit pulang, sambil bertekad menyelesaikan hubungan anak gadisnya dengan pria penjual gado-gado itu.
*berdasarkan kisah nyata, dengan latar belakang pelaku disamarkan.
Penulis: Sari Kusuma