Masih punya nenek? Kapan terakhir menjumpai beliau? Individu senior seharusnya lebih dihormati juga dihargai. Sebab pengalaman hidup mereka pasti lebih banyak, meski kadang harus ekstra sabar menghadapinya. Seperti wanita usia senior (baca: lansia, lanjut usia) dalam kisah berikut.
“Sopo jenenge putumu iki?”
“Niki Azzam, Mbah. Sing mriku Fiza..”
Begitu, setiap lewat di depan rumah Azzam dan Fiza, melihat kedua balita itu bermain, si Mbah Putri selalu mampir dan menanyakan itu pada neneknya. Setiap hari. Pertanyaannya sama: Ini cucumu ya? Namanya siapa? Jika si Mbah lewat tiga kali sehari, maka pertanyaannya juga disampaikan tiga kali sehari. Padahal jawabannya tidak pernah berubah, selalu sama. Lha wong yang ditanya orangnya sama, cucunya sama, rumah yang sama pula.
Di rumah lain jika mampir, si Mbah juga menanyakan pertanyaan yang sama. Berulang. Tentu saja, tak banyak yang cukup sabar menjawab ramah. Yang ditanya mungkin lupa, bahwa kelak di usia senjanya, mereka mungkin sekali akan berperilaku sama: pikun, mencari teman berbicara, mengulang pembicaraan tanpa bosan, menanyakan hal yang sama berulang-ulang.
Si Mbah Putri adalah seorang pensiunan PNS, umurnya sudah menjelang 70 tahun waktu itu. Mungkin sekarang sudah lewat 70 tahun. Di rumahnya yang memiliki lebih dari 3 kamar, tak satupun cucunya ikut tinggal. Ia tinggal bersama suaminya yang juga lansia, serta seorang asisten rumah tangga.
Karena usianya yang sudah lanjut inilah mungkin, ia jadi sangat pikun. Sangat pikun. Si Mbah bahkan pernah pergi ke warung, lalu ngobrol lama, sementara di dapur ia meninggalkan kompor menyala, memasak sesuatu. Hasilnya? Tentu saja gosong, asap mengepul, hingga tetangga panik nyaris memanggil pemadam kebakaran. Tanpa peduli, tetangga mengomelinya, karena ia hampir saja membakar seluruh rumah dengan kelalaiannya.
Rumah si Mbah memang terletak di sebuah perkampungan padat. Satu rumah dengan rumah lainnya rapat tanpa jarak. Jadi jika dapur sebelah menggoreng terasi, satu RT bisa mencium baunya. Apalagi mau asap gosong, selain bau yang cepat menyebar, kepanikan juga ikut menular. Sebab tak ada asap jika tak ada api. Dan di situ, jika satu rumah terkena api, maka api akan cebar menular hingga satu RT.
Si mbah juga senang berjalan-jalan keliling kampungnya, sekedar menghirup udara segar, juga menghilangkan kebosanan di rumah. Mulanya hanya di sekitar kampung, tapi lama-lama sampai ke pinggir jalan raya. Mula-mula setelah jalan-jalan, ia pulang ke rumahnya. Tapi…suatu ketika si Mbah tak pulang-pulang sampai malam. Paniklah Mbah Kakung, lalu mulai menelpon anak-anaknya yang tinggal di lain kecamatan, namun masih satu kota. Hampir 3 hari si Mbah hilang, hingga dilaporkan oleh tetangga ia sedang berada di tempat penampungan dinas sosial. Segera anak-anaknya menjemput. Rupanya si Mbah berjalan terlalu jauh, hingga lupa pulang, lalu diamankan sekelompok satpol PP yang sedang melakukan razia. Si Mbah tak bisa menjawab di mana rumahnya saat ditanyai mereka.
Sejak saat itu, Mbah Kakung tak pernah meninggalkannya jalan-jalan, rono-rene, begitu istilahnya Mbah Putri, ke manapun. Ke mana saja si Mbah rono-rene, Mbah Kakung mengikutinya. Namun Mbah Putri tidak mau digandeng. Beberapa orang lain mungkin akan memilih mengurung lansia yang gampang ‘ngilang’ seperti Mbah Putri ini, tapi tidak dengan Mbah Kakung. Ia tetap membiarkan istrinya melakukan aktivitasnya: rono-rene, namun tetap mengikutinya ke mana saja. Entah pagi, siang, hingga sore, di belakang Mbah Putri berjalan pasti ada Mbah Kakung. Jika sudah tampah lelah, Mbah Kakung akan mengajaknya pulang.
Persis sekali seperti lagu era 90-annya Def Leppard, judulnya ‘Two Steps Behind’. Begini sebagian teksnya: “Whatever you do, i’ll be two steps behind you. Where ever you go, and i’ll be there to remind you..” Lagu itu bagaikan menjadi sound track setiap edisi jalan-jalan si Mbah.
Mereka saling jaga, meski keduanya telah lanjut usia. Mereka memang tidak saling bergandengan, tapi tetap saling menemani. Siapa lagi yang bisa diharapkan? Anak-anak sudah repot sekali dengan pekerjaannya, serta anak-anaknya sendiri. Tidak banyak lansia yang mampu bertahan dengan cara ini. Tidak banyak lansia yang dianugerahi panjang umur untuk terus bisa menghabiskan waktu menua bersama, saling memandangi uban, tanpa banyak kata, tapi dengan perilaku nyata. Tidak melulu saling bergandengan atau berpelukan, tapi tetap selalu saling bisa diandalkan. Satu jenis cinta dan setia yang unik, tapi memberi inspirasi menarik bagi mereka yang masih muda. Membuat kita semua yang merasa masih belum cukup lansia untuk berencana: Seperti apakah kehidupan tua saya nanti dengan keluarga?
Ingat saja, jumlah lansia tidak akan menyusut. Jumlahnya akan terus berlipat. Kita semua hampir pasti akan menyusul klub senior itu, dengan sepaket dampak kognitif dan psikis yang mengikuti. Jadi, sudah sewajarnya mereka mendapat ekstra empati dan simpati, sebab semua orang kelak akan menjadi lansia pula.
Penulis: Sari Kusuma