“Kopi susu satu ya Mbak, pake es batu,” pesan seorang pembeli.
Dengan tangkas, diguntingnya satu sachet kopi susu instan. Ia tuangkan dalam gelas plastik, ditambahkan sedikit gula dari sebuah botol plastik. Dari sebuah termos besar, ia tuangkan air panas, hingga gelas plastik ukuran sedang itu terisi sepertiga bagian. Racikan itu ia aduk sebentar, setelah yakin semua larut, barulah bongkahan es batu dia ambil dari termos, dengan bantuan sendok besar, es batu itu memenuhi wadah sekali pakai itu. Sekali lagi adonan itu diaduk, ditutupi. Terakhir, sedotan disisipkan di satu celah yang memang tersedia tepat di tengah tutup plastik.
Yup, segelas kopi susu instan dingin siap diminum. Siap menyegarkan mata sekaligus kepala yang penat di sore yang cukup terik itu. Gula memang tak perlu dicerna lagi, ia langsung masuk lambung, lalu beredar di pembuluh darah menaikkan gula darah yang biasanya mulai turun saat sore. Sebab rata-rata manusia mendapat asupan kalori saat makan siang, sehingga sore begini, setelah 3 jam lebih berlalu, gula darah telah turun lagi. Rasa lapar lalu muncul, yang jika diabaikan akan berubah menjadi penat di kepala. Tentunya, segelas minuman manis dengan gula di dalamnya akan mengurangi penat itu.
Tangkas sekali wanita berdarah Madura asli itu meraciknya, hampir setangkas seorang barista di kedai kopi bintang lima. Namun barista yang ini adalah seorang wanita berkerudung, dan berkain panjang. Khas penampilan wanita perantau asal Madura. Juga, barista ini tidak berada di balik meja panjang kafe, ia bertugas di balik meja kecil, di lapak kaki limanya di sebuah sudut jalan, di tepi pagar sebuah masjid besar. Berbagai jenis minuman instan tersedia di kafe kaki limanya: teh, sirup rasa buah, kopi, susu coklat dan beberapa jenis minuman sachetan lain.
Biasanya ia membawa dagangannya dengan sepeda ontanya. Namun sejak sebulan terakhir, sepedanya telah disita petugas satuan polisi pamong praja dalam sebuah razia. Waktu itu ia tak cuma kehilangan sepeda, namun seluruh dagangannya disita. Ia hanya bisa pasrah, sebab ia faham usaha dagangannya memang melanggar ketertiban. Sudah jadi peraturan pemerintah daerah bahwa pedagang kaki lima tak boleh berdagang di kawasan yang sebenarnya termasuk ring satu ibu kota itu selama jam kerja.
Namun bagaimana lagi: ada perut yang harus diisi makanan, ada sewa kontrakan yang harus terus dibayar, ada keluarga di kampung sana yang harus dikirimi uang belanja setiap bulannya. Dan di ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini, ia tak mampu bersaing untuk bekerja di jalur formal semisal karyawan kantoran yang menjadi pelanggannya setiap hari. Sebab ia ‘hanya’ lulusan pesantren pinggir kota kelahirannya sana, dengan ijazah setaraf SMU.
Azizah, 25 tahun, sebut saja begitu, sebab ia tak ingin namanya ditulis. Sebagaimana ia malu menyebutkan namanya, ia juga malu menyebutkan umurnya yang sebenarnya. Telah 6 tahun wanita asal kabupaten Pamekasan ini merantau di kota metropolitan. Mulanya ia hanya mengikuti suaminya yang lebih dahulu merantau. Tiga tahun merantau bersama suami, ia dikarunai seorang anak.
“Sekarang dia di kampung Bu, sama Ibu saya. Dari dia umur 2 tahun saya titipin Ibu saya. Habis Bu, anaknya lincah banget, nakal. Ga bisa dagang saya kalau ada dia di sini. Ga bisa juga ditinggalin di kontrakan, mau bayar pengasuh ya mana cukup uang hasil dagang..”, ia mulai berkisah tentang anaknya.
Wanita berkulit sawo matang ini menggelar ‘kafe kaki lima’nya tepat saat dhuhur, sekitar jam 12. Semua sachet minuman diletakkan dalam keranjang plastik, berikut gula dan pelengkap lain. Keranjang ini ia bawa di atas kepalanya. Sementara termos air panas besar dan gelas-gelas plastik ditenteng di tangan kanan, tangan kirinya memegang keranjang tadi agar tetap seimbang di atas kepalanya. Semua dibawa berjalan kaki dari kontrakannya menuju tempat mangkalnya yang berjarak hampir 500 meter. Suaminya turut membantu membawakan termos es dan perlengkapan lainnya. Setelah semua lapaknya siap, ia masuk sebentar ke dalam masjid: menunaikan sholat dhuhur. Sementara suaminya menjaga lapaknya itu. Begitu ritual dhuhur rampung dan ia kembali ke lapaknya, suaminya meninggalkannya, untuk berdagang komoditi yang sama di tempat lain.
Ia beruntung menemukan lokasi berjualan dekat masjid, sehingga bisa mencuri waktu sholat ketika pembeli sepi.
Menjelang waktu Isya’, ia mulai membenahi dagangannya. Enam jam berjualan, setidaknya ia bisa mendapatkan 300 ribu rupiah. Dikurangi modal sekitar 100 ribu, dua bungkus rokok untuk ‘petugas” setempat, serta uang keamanan, maka ia bisa membawa pulang keuntungan hingga 150 sehari. Selama sepekan, hanya sehari saja ia libur berjualan. Sebab pada hari itu pegawai kantoran yang menjadi pelanggannya juga libur. Maka bisa dihitung berapa penghasilannya sebulan: 25 hari dikalikan 150 ribu, sekitar 3 jutaan. Sedikit di atas UMR, dengan jam kerja di tak lebih dari 8 jam sehari. Maklum saja jika ia bertahan dengan profesi ini, juga dengan barang dagangan yang sama selama 6 tahun terakhir.
Ia agak tertutup ketika ditanya soal ada tidaknya juragan yang membawahi dirinya dan penjual minuman keliling lain. Agak riskan memang berjualan keliling tanpa beking juragan yang memiliki hubungan dengan petugas keamanan setempat. Soal ini, biarlah menjadi rahasia antara dirinya dan rekan pedagang sejenis lainnya.
Tapi yang jelas, Azizah telah menjadi satu dari jutaan wanita pencari nafkah lain. Yang demi nafkah ini ia rela berpisah dengan putra semata wayangnya. Kerasnya hidup membuat ia kuat. Ia bukannya terobsesi soal emansipasi, atau termotivasi untuk menyamakan derajatnya di hadapan laki-laki. Pikirannya tidak semuluk itu. Obsesinya simpel saja: menafkahi anak dan ayah ibunya di kampung halaman, dengan cara yang halal, seperti yang diajarkan para kyai di pesantrennya dulu.
Ia hanya mengikuti sebuah pepatah Madura: Ango’ apote tolang tenembang apote matah. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Lebih baik mati sehingga tulang kering memutih, daripada memutihkan mata demi menahan malu. Lebih baik menghadapi kerasnya hidup, lalu bekerja keras menafkahi diri dan keluarga, daripada menahan malu menengadahkan tangan memohon bantuan. Dan sudah menjadi maklum bahwa setiap perantau hanya bisa mempertahankan harga dirinya tidak lain kecuali dengan tetap berpenghasilan, bagaimanapun caranya, yang penting halal. Tak perlu berpikir soal gengsi, tak perlu berpikir soal berpenampilan trendi. Sebab di kota ini ia memang datang untuk mencari nafkah, dan bukannya mencari pengakuan kenecisan penampilan diri.
Begitulah, di tengah riuhnya anak sekolah merayakan Kartini dengan berbagai pakaian adat dan make up cantik, Azizah tengah sibuk berjuang untuk hidup. Demi satu tujuan sederhana: menafkahi keluarga, sehingga terjaga harga diri sebagai perantau yang mandiri. Ya, dia lah sosok Kartini sederhana asal pulau garam.
Penulis: Sari Kusuma