Oleh: Sari Kusuma
Bu Ani, sebut saja begitu namanya, seorang wanita pekerja beranak satu. Sebagai pekerja penuh waktu, penghasilannya lumayan besar, nyaris delapan digit. Ke mana-mana ia mengendarai mobil pribadi kecilnya, sejenis city car berukuran mungil.
Meski demikian, penampilannya sederhana, nyaris tanpa make up. Ia memang tidak terlalu senang mengikuti tren hijab atau mode pakaian terbaru. Tidak seperti wanita pekerja berpenghasilan delapan digit lainnya, ia tidak punya anggaran khusus hingga jutaan untuk perawatan wajah, apalagi berbelanja pakaian dengan berbagai merk terkenal. Sepintas, tak akan ada yang bisa menduga berapa besar penghasilannya dengan melihat penampilannya yang bersahaja.
Meski sederhana, penampilannya tetap rapi berkelas, sesuai dengan jabatannya di kantor. Tanpa berbagai tren hijab, apalagi aksesoris, namun formal, rapi, teratur, sesuai dengan suasana kerjanya. Tidak mencolok, sesuai dengan postur tubuhnya yang kecil ramping, juga nada bicaranya yang pelan tak pernah berteriak, namun tetap jelas dan serius.
Setiap akhir pekan, ia punya rutinitas yang selalu terjadwal rutin jika ia tidak ada jadwal tugas kerja ke luar kota. Apa itu? Ya, dia mengisi pengajian belasan ibu-ibu di lingkungan rumahnya. Namun demikian, ia tak mau dipanggil ustadzah, sebab menurutnya ia bukan lulusan pesantren. Ilmu agamanya ia dapat dari mengikuti pengajian rutin pula sejak kuliah, juga mengikuti beberapa kursus singkat dengan materi ilmu Islam. Ia tidak yakin pantas dengan panggilan ustadzah, meskipun sering dimintai pendapat tentang agama oleh ibu-ibu anggota pengajiannya.
Bukan sekali dua kali, namun rutin sebulan sekali, penghasilannya disisihkan untuk kegiatan keIslaman sebuah yayasan di wilayahnya. Ini di luar zakat penghasilan atau profesi yang juga ia keluarkan setiap bulannya sebesar 2,5% dari penghasilannya, kepada yayasan lain. Ini juga di luar sumbangan untuk proposal dari lingkungan, atau organisasi masyarakat sekitarnya yang setidaknya sebulan sekali datang kepadanya.
Namun begitu, satu kali, pernah juga ada yang memberi komentar, “Kenal Bu Ani? Ustadzah yang baik, tapi kurang senyum aja..”.
Komentar itu datang dari seorang peserta yang pernah bertemu Bu Ani di suatu acara, sekali-dua mereka bertemu.
**
Setiap individu terlahir unik, berkembang dan tumbuh makin unik bersama lingkungannya. Keunikan ini kadang menjadi kelebihan, sering pula menjadi kekurangan. Sehingga, tak ada gading yang tak retak.
Godaan terbesar dalam berinteraksi dengan manusia yang lebih tinggi kasta ekonomi maupun ilmunya adalah menuntutnya untuk menjadi gading yang utuh mulus tanpa sedikitpun retak. Hal kecil semisal murahnya senyum tentu bukan perkara besar di sini, sebab Bu Ani secara adab lain selalu terjaga. Namun, sudah berlaku umum bahwa: murid menuntut gurunya selalu benar. Anak berharap orang tuanya bebas dari salah. Santri mengharap Kyai nya bersih dari alpa. Pasien meminta dokternya senantiasa ramah, benar diagnosis hingga tingkah lakunya. Pegawai menuntut majikannya selalu makmur tanpa kemalangan.
Bagi para guru, orang tua, kyai, dan semua pemilik kasta lebih tinggi itu, ada sebuah kewajiban untuk berusaha memenuhi harapan tersebut. Ada sebuah kewajiban untuk menjaga adab, agar kehidupan tetap harmonis. Ia tidak harus sempurna, tapi setidaknya jelas kelas tata kramanya. Sebab mereka adalah sumber literatur tentang budi pekerti dan adab kepatutan, yang selalu akan dicontoh oleh juniornya. Sebab, maaf, jika guru kencing berdiri, maka muridnya akan kencing berlari. Sebab jika bukan pada mereka contoh baik itu diharapkan, lalu pada siapa lagi?