Dalam perjalanan haji itu, terkuaklah rasa bencinya yang telah belasan tahun terpendam. Ketika seorang preman hendak membunuhnya sebab balas dendam atas perbuatan ayahnya di masa lalu, ia makin geram. Lalu balas membentak preman yang telah terbelenggu dalam jeruji kapal,”Kebencianku pada ayahku justru lebih pekat dari kebencianmu!”
Sang saudagar, lelaki terkenal, terpelajar, dengan istri cantik setia di sampingnya, serta dua putri sholehah dan cerdas yang menjadi buah hatinya, ternyata menyimpan kebencian yang amat pekat pada ayahnya sendiri! Duhai…
Om Darwis Tere Liye memang piawai membuat karakter lelaki dengan kebencian itu dalam novel best sellernya: ‘Rindu’. Tapi kita tak hendak membahas soal novelnya. Namun soal kebencian itu sendiri.
Aneh kan seorang anak membenci manusia yang seharusnya ia sayangi dan doakan kelapangan kuburnya? Tapi nyatanya memang ada, hingga pernah ada pasien menangis tersedu sebab saat menelpon anaknya, sang anak marah malah bertanya: Kok ibu ga mati-mati sih?
Tapi juga, nyatanya memang ada suami yang membenci istrinya, atau sebaliknya istri membenci suami sendiri. Saya jadi teringat kisah kenalan yang hanya bisa membenci suaminya yang berulang kali selingkuh, seraya menyumpahi agar sang suami dibiarkan meninggal dalam kenistaan perselingkuhannya itu. Na’udzubillahi min dzalik..
“Kebencian itu ibarat bongkahan besar gunung es, yang mencengkeram kuat ke dalam hati,
Aroma dinginnya menyeruak, menyebar ke seluruh penjuru hati,
Membekukan seluruh penghuninya, menghilangkan nuansa sehangat musim semi penuh warna yang pernah ada di sana..
Sesungguhnya kebencian itu amat ganas! Ia turut bekukan semua tanpa sisa..”
***
Ribuan tahun yang lalu ada seorang lelaki yang melakukan semuanya atas rasa benci. Dia benci hegemoninya sebagai raja dikalahkan oleh seorang anak muda, yang berbicara saja kurang jelas sebab lidahnya pernah mengalami luka bakar terkena bara api. Anak muda itu mengajarkan tauhid kepada semua orang, yang artinya bahwa yang patut disembah serta ditakuti hanyalah Tuhan. Dan Tuhan itu adalah Allah. Anak muda itu membuat pengikutnya sadar: bahwa seorang raja bukanlah Tuhan, dan di hadapan Tuhan semua egaliter, kecuali yang bertakwa. Demi mendengar bahwa keRaja-annya akan tersaingi oleh zat lain, maka murkalah sang Raja.
Dengan seluruh kebencian itu, ia fatwakan sunnat Firauni bagi seluruh wanita Bani Israil. Demi kebencian serta terselip kekhawatiran hegemoninya tersaingi, difatwakan pula hukuman mati bagi bayi laki-laki yang terlahir dari suku yang sama.
Namun sepandainya makar dibuat, Allahlah pembuat makar terhebat. Bayi yang diramalkan akan menggoyang hegemoninya ternyata berhasil tumbuh besar dewasa, bahkan dalam istananya sendiri, sebagai anak angkat. Dan bayi itulah sang pemuda itu. Dan pemuda itu bernama Musa. Sang Raja adalah Firaun.
Bagaimana Firaun mengakhiri kebenciannya? Ya, dia berakhir dalam regangan nyawa di lautan Merah, sebagai toghut musyrik.
Kebencian memanglah bukan senjata untuk memerangi sesuatu. Mari belajar pada Ali bin Abi Thalib. Ia urung memenggal musuh musyriknya dalam satu peperangan, hanya karena sang musuh meludahinya. Lalu menyampaikan alasan,”Sesungguhnya, sebelum engkau meludahiku tadi, motivasiku memenggalmu karena Allah. Namun engkau meludahiku, sehingga aku benci dan marah padamu. Maka motivasiku pun berubah, aku jadi ingin memenggalmu karena benci dan marah padamu”.
Dan mari belajar prinsip ‘lempeng’ dari seorang ustadz sekaligus Pak Haji. Ceritanya, pak ustadz ini baru pulang menjenguk seorang tokoh besar, sebut saja Pak Karta. Pak Karta memang terkenal, punya banyak jasa. Namun di balik itu, pak Karta ternyata pula seorang koruptor. Memang belum sempat dibuktikan di pengadilan, namun di luar itu pula pak Karta telah membentuk sebuah rezim dengan berbagai nepotisme dan kolusi menjadi pola kerjanya. Tentu saja, banyak yang membencinya.
Maka, para sahabat sang Ustadz protes: untuk apa menjenguk biang kerusakan?
Apa jawab sang Ustadz? “Apa salahnya? Dia kan muslim, punya hak untuk kita jenguk. Kalian bicara soal benci? Sayalah yang lebih pantas untuk merasa benci padanya, sebab secara langsung orang tua saya meninggal akibat ulah Pak Karta”.
“Kita harus ingat: semua yang terjadi di dunia ini ada atas sepengetahuan Allah. Bahkan seekor semut jalan di malam gelap pun Allah tahu, sebab itu terjadi atas kehendak Dia. Ada orang ngejahatin kita, Dia tahu. Jadi, serahin aja semua ke Dia. Biar Allah yang urus, Allah bereskan, Allah yang kasih hukuman. Kalau udah tahu ada Yang Maha Pengatur, ya kita tinggal ngikutin aja. Beres. Jadi hati kita bisa lempeng. Ga usah benci, ga usah dendam..” tegasnya.
Jadi, mari belajar prinsip ‘lempeng’ ala pak Ustadz ini. Lempeng berarti tak menyimpan benci, dendam, apalagi amarah. Mudah? Tentu tidak, tapi layak dicoba, dengan segenap upaya.
Penulis: Sari Kusuma