Tawaf hanya bisa dikerjakan di masjidil Haram, tidak di tempat lain, tidak di masjid lain. Maka wajar, sepanjang waktu, Ka’bah selalu dipenuhi jamaah yang melakukan tawaf: tujuh kali berjalan mengelilingi Baitullah, dengan titik awal di garis sejajar rukun Hajarul Aswad, dan berakhir di sana pula. Tak usah khawatir, ada tanda lampu hijau yang menandai jalur sejajar Hajarul Aswad ini. Bahkan di lantai empat area tawaf pun ada lampu hijau ini.
Setiap saat, nyaris 30 ribu manusia mengelilingi rumah Allah itu, melawan arah jarum jam, menciptakan suasana syahdu dalam ramai, khusyuk dalam langkah cepat. Di sini bukan tempatnya berpikir tentang menghindari ikhtilat atau bercampur baur lelaki perempuan. Tapi di sini semua berpikir tentang segera mencapai putaran ketujuh, lalu sholat dan berdoa di tempat yang paling makbul: di depan multazam. Maka sudah lumrah jika sudah tiba depan multazam, jamaah kebanyakan berat untuk beranjak. Mereka tenggelam dalam lautan doa dan munajat. Tak perduli kerumunan manusia yang sudah pasti akan mengesernya.
Jika tidak erat saling menjaga, maka terpisah dari rombongan, atau terlepas dari genggaman teman tawaf pun lumrah terjadi. Dan siapa yang sanggup mencari kembali teman tawaf yang terpisah dalam lautan manusia seperti itu? Jangan bicara masalah tanda pembeda semisal slayer berwarna terang, atau pita yang ditempelkan di kepala, atau warna peci atau khimar yang mencolok yang dipakai agar mudah dicari dalam kerumunan manusia. Sebab, di sini, banyak hal yang kadang dianggap remeh dan mudah, seketika menjadi rumit karena rasa angkuhnya hati.
Dan ini sempat kami alami saat umroh terakhir dua tahun lalu. Sebagai seorang yang dijuluki Ustadz, rupanya suami saya memang kelewat serius beribadah. Kami ini jarang bepergian berdua, enam anak yang kami miliki jadi salah satu alasannya. Jarak usia mereka tak lebih dari 2,5 tahun. Belum lagi suami saya yang selain menjalankan usaha pabrik tas, ia juga aktif mengisi pengajian di masjid dekat rumah. Jadi, bisa pergi umroh berdua dengannya bagi saya ibarat bulan madu rasanya.
Namun ternyata, dia tidak berpikiran seperti itu. Dia memang jenis manusia serius, susah diajak romantis. Dia bahkan membuat target khatam 30 juz selama umroh. MasyaAllah, terus jatah untuk menemani saya berkeliling sekitar Ka’bah (baca: jalan-jalan) kapan? Dan hampir sepanjang waktu, kecuali tidur malam dan waktu makan saja, dia berdiam di dalam Al-Haram.
Kesal? Tak tega rasanya menyimpan rasa kesal pada suami di tanah Haram ini. Saat manasik, Ustadz sudah berpesan agar kami selalu berpikiran optimis dan positif selama perjalanan umroh ini. Saya ‘hanya’ bisa istighfar.
Beberapa kali saya jadinya sholat dan tawaf di Masjidil Haram ditemani jamaah lain yang ibu-ibu. Iri rasanya melihat banyak jamaah lain yang kemana-mana berdua dengan suaminya. Ah, suamiku sholeh, tapi kok ga ada romantis-romantisnya sih?
Akhirnya, di hari kesekian di Mekkah, suami saya mengajak juga ke masjid bersama-sama. Hari itu, kami berhasil mencapai ring pertama Ka’bah di lantai dasar, Multazam di depan mata. Pasca sholat dhuhur, kami pun tawaf.
Ia selalu menggandeng saya. Sesekali merangkul dari belakang jika kondisi sangat sesak. Beberapa titik memang luar biasa lebih sesak dari sisi lainnya, seperti di depan multazam, depan hajarul aswad, dan di depan maqam Ibrahim.
Luar biasa lautan manusia itu, sebagai bangsa Asia, kami memang kalah postur dibanding muslimin dari Afrika, Turki atau India. Saya mulai sibuk mengamati jamaah lain, tak terasa terpisah dari suami saya. Itu sudah putaran keenam. Tentu saja, tak mungkin saya berhenti tawaf lalu mencari suami saya. Lebih tidak mungkin lagi jika saya berjalan melawan arus mencarinya. Kami benar-benar terpisah!
Maka, saya teruskan tawaf, lalu sholat sunnah tawaf. Mungkin ini teguran dari Allah karena sedari kemarin saya terlalu banyak maunya: berharap selalu ditemani suami. Saat itu, rasa malu menyergap di hati saya: mengapa sibuk berharap dia lebih romantis padahal ia memang bukan tipe pria romantis? Ia tipe pria serius yang begitu ketat menjaga ibadahnya, dan tak kurang perhatian dan tanggungjawabnya pada keluarga. Padahal banyak wanita lain di luar sana yang bercerai karena suaminya tak bertanggungjawab, sholat pun jarang, anak pun disia-sia. Astaghfirullah..
Sebenarnya, saat itu mudah bagi saya untuk mengkontaknya dengan smartphone saya. Tapi dalam hati kecil, kali ini saya ingin bantuan murni dari Allah. Di depan mutazam lalu saya berdoa: Agar saya dan suami kekal jodohnya. Juga, bila memang dia jodoh saya: agar Allah mempertemukan kami kembali di depan Ka’bah ini.
Dalam tunduk kepala saya berdoa itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk lembut pundak saya, lalu mengusap kepala saya halus. Saat saya menoleh, tampaklah wajah bersih pemilik tangan itu. Wajah teduh, hangat, dengan senyum yang sangat saya kenal, dan tiba-tiba begitu saya rindukan. Ya, ia suami saya, ia menemukan saya di depan Ka’bah. Doa saya terkabul: Allah menjadikan ia jodoh saya! Allahuakbar!
Saya segera mencium punggung tangannya. Bergandengan, kami meninggalkan Masjidil Haram.
Memang, setiap cinta punya gayanya tersendiri untuk diekspresikan. Setiap orang punya caranya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Hari itu, di depan Ka’bah saya sadar: bahwa sosok yang puluhan tahun saya nikahi itu telah tampil meyakinkan dengan menjadi manusia yang khusyuk dalam ibadahnya, tak luput dalam nafkahnya, tak kurang perhatiannya pada keluarganya. Dia sudah sempurna sebagai suami, saya tak butuh apa-apa lagi darinya. Ya, setiap orang telah menjadi berusaha sempurna dengan caranya sendiri, tak usah berusaha menuntutnya lebih sempurna lagi.
*seperti diceritakan sang istri pengusaha tas kepada penulis
Penulis: Sari Kusuma