SuaraJakarta.co, JAKARTA – Karut marut Jakarta menjadi sorotan dan keluhan sebagian besar penghuninya. Macet dan panas menjadi makanan pokok siapapun yang tinggal di Ibu Kota. Tak hanya itu, berbagai masalah ternyata juga menghadang dan menjadi polemik besar. Salah satunya transparasi anggaran pembangunan dan masalah administrasi lainnya. Padahal ini menjadi salah satu fokus utama yang harus segera diselesaikan demi tertibnya sistem administrasi kota.
Mensiasati hal tersebut, duo pimpinan DKI Joko Widodo (Jokowi) – Basuki T Purnama (Ahok) mengusung sejumlah strategi. Anggaran besar yang menjadi modal utama pembangunan dan tata kota, tak jarang luput dari pantauan sang Gubernur dan Wakilnya. Masyarakat pun banyak yang tak tahu tentang hal ini. Alhasil, korupsi menjadi makanan empuk para PNS dan pegawai yang terlibat.
Sejak awal memimpin Jakarta, Jokowi – Ahok dengan tegas mengusung program E-Budgeting untuk pengaturan anggaran secara elektronik. Tujuannya mencegah birokrasi untuk melakukan tindakan korupsi. Dua tahum berjalan, ternyata program tersebut tak berjalan sesuai harapan. Ahok pun dengan mantap menyatakan e-budgeting DKI Jakarta Gagal.
Yang pasti, dua tahun ini gagal e-budgeting karena terlalu lamban dalam pelaksanaannya”, ujar pria 48 tahun itu kepada Koran Sindo, Rabu (15/10).
Ahok mengungkapkan berbagai faktor menjadi penghambat program Pemrov DKI ini. Sejumlah oknum pegawai negeri sipil (PNS) diduga dengan sengaja memperlambat pelaksanaan ini.
Menurut dia, ada juga oknum PNS yang tak bisa melakukan sistem transparasi anggaran. Para PNS yang terkait hal ini dianggap masih kaget menjalankan pola pengaturan dan pengawasan keuangan tersebut. Mereka disinyalir belum terbiasa, hingga tak mampu menyusun satuan anggaran dalam setiap pembuatan rancangan anggaran.
Sejak Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan kegagalan program ini. Pembuatan sistem informasi e-budgeting dinilai tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa, dan menimbulkan kerugian keuangan daerah.
“Sebagian output-nya tidak sesuai kesepakatan, sehingga belum dapat dimanfaatkan dan berindikasi merugikan keuangan daerah senilai Rp 1,42 miliar,” kata Agung Firman S, Anggota V BPK, di gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (20/6/2014) lalu. (KN)