Pada suatu hari, ada beberapa orang Anshar sedang berkumpul-kumpul. Salah seorang diantara mereka, yaitu Abul Ayyub Al-Anshari, berkata, “Sekarang Islam telah jaya, telah eksis, dan telah kokoh. Sebaiknya kita kembali ke ladang-ladang kita, kebun-kebun kita, kita urus lagi harta kekayaan kita yang selama ini “terbengkalai” dan kita garap lagi lahan-lahan itu dengan serius, lahan yang selama ini telah kita “tinggalkan” dalam rangka berjihad fi sabilillah, dan hasilnya kita infaqkan fi sabilillah juga, sementara jihad di medan laga biar ditangani oleh saudara-saudara kita lainnya”.
Pada saat itu pula Allah swt menurunkan firman-Nya:
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Baqarah: 195).
Sedangkan riwayat yang satu ini menggambarkan kepada kita bahwa kehancuran, atau kebinasaan, atau istilah Al Qur’annya tahlukah akan terjadi manakala kita meninggalkan jihad.
Kalau dua riwayat ini kita hubungkan dengan sirah Rasulullah saw lainnya, kita akan temukan data-data berikut. Peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (ghozwah) ada 26 ghozwah. Sedang peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (sariyyah) ada 38 sariyyah. Maka kita akan dapat menarik satu kesimpulan bahwa perjuangan Rasulullah saw dan para sahabatnya itu tiada henti dan tanpa putus.
Bagaimana tidak, waktu yang kurang lebih sepuluh tahun itu terisi oleh peperangan 64 kali peperangan. Sungguh, sebuah kerja yang menggambarkan betapa Rasulullah saw dan para sahabatnya senantiasa menumpahkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal dan tiada henti, sehingga “tidak ada” waktu lagi untuk bersitirahat dan “meng-andai-andaikan” hal-hal yang sifatnya duniawi.
Kalau hal itu kita ibaratkan sebagai air yang mempunyai potensi besar untuk menerjang apa saja, maka aliran air itu tiada pernah berhenti.
Kalau Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 195 itu kita hubungkan dengan pengibaratan air ini, kita bisa katakan bahwa justru kalau air itu berhenti, dan tidak lagi mengalir, maka air itu akan menjadi rusak, kotor, sarang nyamuk, dan sumber penyakit, serta berubah warnanya. Begitu juga dengan potensi semangat juang yang ada pada diri manusia. Bila potensi semangat juang itu berhenti bersemayam dalam jiwa, maka potensi itupun akan bernasib sama dengan air itu. Karenanya wajar bila Allah swt memperingatkan para sahabat akan datangnya tahlukah (kebinasaan) kepada mereka bila mereka meninggalkan semangat jihad, dan menyibukkan diri dengan urusan pertanian, kehutanan, perkebunan dan jenis-jenis perbisnisan lainnya.
Firman Allah swt diatas dipertegas juga oleh hadits Rasulullah saw yang menyatakan:
Jika kalian telah berjual beli secara ‘ienah (rekayasa dan akal-akalan dalam praktek riba), kalian telah mengambil ekor sapi dan puas (asyik) dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah swt akan menjadikan kehinaan menguasai kalian yang tidak akan dicabut sehingga kalian kembali kepada agama kalian. (HR Abu Daud dan Ahmad, dan Syekh Nashirud-Din Al Al Bani menilainya hasan).