SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pelemahan serentak Rupiah terhadap berbagai mata uang asing yang terjadi saat ini adalah suatu keadaan yang tidak hanya dipicu faktor eksternal saja. Jika faktor eksternal yang jadi sebabnya, maka Rupiah hanya akan melemah terhadap USD. Yang terjadi justru Rupiah melemah juga terhadap mata uang regional seperti Dollar Singapura, Ringgit Malaysia dan juga Euro yang sebetulnya sedang tertekan karena krisis Yunani. Permintaan yang tinggi terhadap suatu mata uang tentu dipicu sentimen positif yang terbangun disekitarnya. Kekuatan nilai tukar mata uang tercermin dari permintaan masyarakat terhadap mata uang itu. Mata uang tak berharga, dijauhi. Mata uang prospektif, diborong. Sementara ada rilis baru yang menyatakan bahwa Rupiah masuk sebagai salah satu dari 15 mata uang paling tak berharga. Ada apa sebenarnya?
Terlepas dari kondisi atau penyebab domestik yang melemahkan Rupiah seperti kebijakan impor, lemahnya fundamental ekonomi Indonesia, atau permainan spekulan valas, maka yang terjadi adalah kemampuan beli uang Indonesia di luar negeri makin turun. Transaksi apapun yang menggunakan acuan mata uang asing, akan makin mahal dalam Rupiah. Sebaliknya, barang apapun yang Indonesia jual, termasuk barang ekspor dan aset berharga dalam negeri, akan menjadi sangat murah. Ingat saat krismon 1998 ketika 1 Dollar menjadi Rp 15.000, maka aset dalam negeri dimangsa asing. Sudahlah murah karena Rupiah jatuh, perusahaan Indonesia diobral karena kolaps. Kenapa? Karena utang dalam Dollar mencekiknya. Katakanklah awalnya hutang dalam Dollar sebanyak 1000, dengan nilai tukar Rp 2.500 per Dollar, maka jumlah hutang dalam Rp adalah 2.500 x 1000 = Rp 2.500.000. Ketika Rupiah jatuh menjadi 15.000, maka tiba-tiba hutang perusahaan itu menjadi 6 kali lipat lebih besar atau menjadi Rp 15.000.000. Kolaps dia.
Lalu apakah hal ini tidak bisa terjadi saat ini? Apa yang akan terjadi jika Rupiah terus melemah hingga menjadi, semoga tidak, Rp 15.000 per US Dollar? Untuk penyegaran, kita lihat kondisi 1997 – 1998 lalu ketika ‘krismon’ terjadi. Ketika itu ‘bintangnya’ adalah George Soros, seorang spekulan global, dan IMF (International Monetary Fund). Krisis itu berantai, dengan korban Thailand, Korea Selatan, Mexico, Filipina, Malaysia, Hongkong hingga Jepang. Indonesia termasuk yang paling parah. Padahal, pada 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Inflasi di Indonesia rendah, perdagangan surplus hingga USD 900 juta, persediaan mata uang asing (cadangan devisa) yang luar biasa besar. Namun toh aksi Soros dalam melemahkan mata uang negara-negara Asia sehingga menyebabkan pelarian modal asing besar-besaran ke luar negeri, ditambah banyaknya hutang perusahaan-perusahaan nasional dalam bentuk USD, telah melumat habis kekuatan nilai tukar rupiah hingga menyentuh Rp 17.000/ USD dan merontokkan bursa saham sekaligus.
Apakah gejala yang sama sedang terjadi saat ini? Apakah spekulan sedang ‘dipersilakan’ masuk dan bermain mengacak-acak ekonomi Indonesia? Perlu dicatat bahwa kondisi dalam negeri sudah sangat dilemahkan dengan aksi liberalisasi sektor migas termasuk pencabutan subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat. Tarif seluruhnya naik. Harga barang pokok pun demikian. Listrik dan LPG juga. Masyarakat dalam kondisi sangat lemah. Dunia usaha juga menjerit karena biaya operasi meningkat drastis di satu sisi, dan belanja modal dalam USD (barang impor) yang menjadi sangat mahal. Belum lagi tuntutan pekerja untuk penghapusan sistem kontrak dan penaikan upah. Artinya apa? Kondisi domestik yang lemah ini adalah pintu masuk asing untuk memangsa aset berupa kekayaan alam maupun perusahaan dalam negeri.
Dan jangan lupa, ada rencana privatisasi beberapa BUMN oleh pemerintah. Upaya ini sedang dirintis, atau juga bisa disebut ‘melanjutkan’ – kebijakan Presiden Megawati saat itu yang punya masterplan privatisasi sektor publik di Indonesia dan liberalisasi pasar. Mungkin saja, salah satu skenarionya, adalah dengan membuat Rupiah makin tertekan. Dampaknya adalah banyak perusahaan akan kolaps dan bisa dijual murah. Terlebih lagi USD makin perkasa, ujungnya asing akan belanja perusahaan-perusahaan di Indonesia, termasuk BUMN, dengan harga sangat murah. Wallahua’lam.
Penulis: @endykurniawan – Trainer, coach dan penulis bidang Bisnis, Investasi dan Keuangan. Pendiri dan pemilik Salama Mitra Investa, pemegang brand @salma_dinar distributor emas logam mulia nasional