SuaraJakarta.co – Masih ingatkah kita dengan kisah masyhur ‘Tukang Bubur Naik Haji’? Kisah inspiratif yang menggugah kembali keyakinan kita bahwa siapapun bisa berhaji. Kisah demikian ternyata tak pernah habis. Setiap tahun selalu ada tukang bubur-tukang bubur lainnya yang juga mampu berangkat haji. Tahun ini saja contohnya, kita bisa menyaksikan kisah tukang sapu, tukang gorengan, dan tukang-tukang lainnya yang naik haji, setelah puluhan tahun menabung.
Setiap tahunnya ratusan ribu jamaah haji diberangkatkan dari Indonesia ke Makkah dan Madinah. Ada yang sudah berkali-kali naik haji, baru pertama kali, hingga yang hanya mungkin satu kali waktu itu saja melaksanakan haji. Dari beragam jamaah yang berangkat, satu hal yang sama : sama-sama ‘mampu’ memenuhi rukun islam ke-5. Pertanyaannya, apakah sebetulnya kemampuan itu?
‘Mampu’ yang dimaksud dalam berhaji berkaitan dengan kemampuan fisik, psikis dan harta saat melaksanakan ibadah haji. Mampu ini berkaitan juga dengan syarat bahwa orang yang berhaji harus sudah lunas hutangnya, harus meninggalkan harta yang cukup bagi ahli waris yang ditinggalkannya selama berhaji. Namun, ada ‘mampu’ yang lebih pertama dan utama dari semuanya, yaitu mampu membayar ongkos berhaji. Betul bukan?
Nah, pertanyaan berikutnya, sama-kah ‘mampu’ dalam hal finansial bagi para ‘tukang’ tersebut dengan jamaah haji lainnya yang sudah terbiasa pulang pergi haji?
Disinilah makna mendalam dari kata ‘mampu’ dalam berhaji. Bahwasanya sebenarnya setiap umat muslim diundang dengan undangan terbuka oleh Allah swt. Hanya saja, ada yang sudah menyambutnya dengan niat yang kuat, ada yang menyambutnya namun tidak dengan niat yang cukup kuat. Kisah tukang bubur dan tukang-tukang lainnya naik haji telah menjelaskan bahwa pembuktian niat yang kuat salahsatunya adalah dengan bersungguh-sungguh menyiapkan diri membayar ongkos haji, meskipun kita tak tau di tahun ke berapa kita akan benar-benar berangkat haji.
Jadi, sudah me-mampu-kan dirikah kita berhaji?