Masjid Nabawi adalah satu dari tiga masjid di seantero Saudi yang harus diziarahi kaum muslimin. Setiap hari, bahkan hingga tengah malam pengunjungnya tak pernah sepi. Namun meski senantiasa penuh pengunjung, kebersihan dan ketertibannya selalu terjaga. Ini semua berkat ratusan petugas kebersihan, para askar serta pekerja teknis lain yang bekerja tanpa henti. Termasuk di ruang khusus wanita, selalu ada askar wanita yang berjaga di pintu masuknya. Jamaah wanita harus bersedia membuka tas mereka untuk diperiksa askar wanita yang bergamis, hijab dan himar serba hitam itu.
“No shopping!,” tegasnya, maka jamaah yang terlihat membawa barang belanjaan dipersilahkan sholat di pelataran, dan dilaranh sholat di ruang utama. Sesekali larangan itu diucapkan dalam bahasa Arab. Meski bahasanya fasih, terlihat jelas dari kedua matanya, para askar bercadar ini bukan penduduk asli Arab. Mereka semua adalah pekerja migran. Dan termasuk mudah menemukan petugas berkebangsaan Indonesia di sini.
Seorang kolumnis koran Al-Sharq al- Awsat, Abdul Rahman al-Rasyid, pernah menyebutkan pada April 2013 bahwa 13 juta dari total 40 juta penduduk Saudi adalah orang asing. Data yang ia sampaikan jauh lebih tinggi dari data sensus yang menyebutkan bahwa 7,2 juta dari 27,1 penduduk Saudi adalah migran.
Masih menurut al Rasyid, nyaris separuh migran pekerja itu tidak memiliki surat-surat lengkap, alias mereka adalah tenaga kerja ilegal. Pekerja sekelas buruh semisal: petugas kebersihan baik hotel maupun masjid, petugas katering, juru masak, pedagang kaki lima, hingga pendamping perjalanan umroh: mereka semua migran.
Salah satu migran yang sempat saya ajak ngobrol adalah seorang tour guide atau muthowif rombongan satu perjalanan umroh. Rasa penasaran saya muncul ketika dia bercakap dengan rekannya, menggunakan bukan bahasa Indonesia, juga bukan bahasa Arab. Dan bahasa itu familiar sekali di telinga saya. Haha, itu bahasa kampung saya. Di ruang makan hotel yang luas itu, rasanya tidak sreg jika saya tidak menyapa teman sekampung itu, yang duduk di meja sebelah saya.
“Medureh kammah sampeyan?”, artinya: Maduranya dari mana?
Dan si muthowif ini menyebutkan sebuah kabupaten di ujung pulau garam: Sumenep. Kabupaten yang di dalamnya ada sebuah pesantren modern: Pesantren Al-Amien Prenduan. Seorang teman pena saya alumni sana, dan sempat berharap Mas Muthowif ini berasal dari sana pula.
“Bukan Bu, saya dari pesantren lain,” jawabnya ketika saya menebak nama pesantren itu.
Usianya belum genap 30 tahun, berkat pembiasaan selama 6 tahun nyantri, bahasa Arabnya fasih. Setidaknya membuat dia berani merantau ke negeri para Nabi, dengan modal ijazah pesantren yang setaraf SMU. Sambil saya menyeduh teh susu untuk menu penutup makan malam saya, kami pun memulai obrolan, sedikit basa-basi, perkenalan. Lalu mulai saya menyalurkan insting jurnalis saya: mengorek cerita, menyimak kisah, memberi kenyamanan bagi nara sumber untuk bertutur panjang lebar.
“Sebenarnya di sini saya kerja di katering, bagian dapur gitu. Tapi kemaren ada lowongan muthowif, saya daftar. Gajinya lebih gede sih Bu..”, ia lalu berkisah.
Sebagai pegawai katering, gajinya sebulan paling besar 1400 real. Sebagai muthowif, honornya perhari bisa 200 real, ia juga mendapat makan sehari tiga kali, bahkan jika jamaah berbaik hati, ia bisa mendapat tambahan tips dari mereka saat berpisah di depan bandara. Minimal seorang jamaah memberi 5 real. Jadi jika ia membimbing 10 jamaah, ia akan mendapat 50 real tip di ujung program bimbingan. Jika beruntung, selepas membimbing satu rombongan selama 7 hari, ia bisa menemukan rombongan lain untuk dibimbing. Jadi sebulan ia bisa bertemu dua rombongan. Jika tidak ada rombongan, ia bisa menjadi pekerja katering harian.
“Sebagian penghasilan saya pakai biaya hidup, sebagian dikirim ke kampung, sebagian ditabung. Dikit-dikit nabung. Adik saya banyak Bu, masih sekolah semua,” ia mulai tak sungkan bercerita.
“Sebenarnya ya Bu, banyak juga dari kami ini yang ke sini dengan visa umroh, kunjungan sementara. Makanya pinter-pinter aja kucing-kucingan sama petugas. Habis gimana ya Bu, minta visa kerja susahnya minta ampun. Di Indonesia lulusan pesantren setaraf SMA kayak saya paling banter jadi guru ngaji, kalo ada kenalan bisa jadi guru SD, atau kalau punya tanah ya bertani juga. Saya ga punya tanah, orang kampung ga ada koneksi. Mau sekolah lagi: uang belum tentu ada, adik-adik saya malah yang lebih perlu saya biayai sekolahnya”.
Lalu ketika ditanya soal bagaimana suka duka menjadi Muthowif, ia mulai senyum-senyum.
“Waktu pertama kali jadi guide, saya bertugas berdua dengan teman yang juga baru jadi guide. Rombongannya kebagi di dua hotel karena kelas bintangnya beda. Saya ngurus yang bintang 3, temen saya urus yang bintang 4. Pas hari pertama kami belum hafal satu-satu jamaah. Jadi habis sa’i, langsung kami bareng jamaah 30an orang itu bergerak ke arah hotel..”
“Lalu tau-tau kami berdua kepisah. Masing-masing bawa rombongan, tapi masih campur tuh yang hotel bintang 3 sama 4. Yang bintang 4 sih enak deket saka masjidil Haram, bisa sekalian saya anter. Yang bintang 3 ini lho, kebawa sama temen saya. Akhirnya saya telpon temen saya, bolak balik manggil. Dia ngotot agar saya menyusulnya nyusul ke depan”, tuturnya.
“Waktu itu udah mau magrib. Pintu untuk masuk udah ditutup. Tapi kebijakan biro travel kami harus segera kembali ke hotel karena kami semua belum cek in dan bagi-bagi kamar. Jamaah pasti sudah lelah, karena ini hari pertama tiba di Saudi, langsung Mekkah, langsung umroh. Tapi beberapa jamaah yang saya bawa masih terlihat semangat. Kata salah satu jamaah ibu-ibu yang udah pernah umroh sebelumnya: ‘Udah mau magrib, kenapa ga magrib dalem masjidil Haram sekalian? Pahalanya ribuan kali lebih banyak. Itu orang-orang pada mau masuk ga bisa, kita malah keluar’. Secara umur biologis, memang jamaah lebih senior daripada kami ini muthowifnya. Tapi mayoritas jamaah waktu itu perempuan: Ibu-ibu muda, namun kebanyakan usia 50 tahun ke atas. Inilah susahnya jadi muthowif bagi jamaah yang udah sering umroh, biasa jalan kemana-mana sendiri”.
“Waktu itu saya hampir emosi, di satu sisi rombongan lain kepisah, harus dicari, satu sisi ini ada jamaah yang mau memisahkan diri. Kalau ada apa-apa, saya yang dikomplen sama Bos travelnya, masak baru pertama kali bertugas sudah dapat teguran? Untungnya pemimpin rombongan segera turun tangan, ia adalah orang yang mimpin rombongan dari Jakarta. Ia tawarkan agar mereka yang mau magrib di masjid ia yang akan kawal, toh mereka udah sering umroh, udah tau jalan. Jadi muthowif bisa mengawal yang sudah berjalan ke hotel”, lanjutnya bercerita.
Sambil menyeruput teh hangat yang ia seduh sendiri sebagai menu penutup makan malamnya, ia lanjut sesi ‘curcol’nya, “Jadi, membimbing jamaah yang udah sering umroh selain susah karena mereka kadang lebih ngatur, ada enaknya juga: Mereka lebih faham medan. Jadi muthowif tidak perlu terlalu khawatir mereka kesasar. Ya, bisa dilepaslah, karena mereka juga maunya bebas ngatur kegiatan mereka sendiri. Paling tinggal diingatkan kalau ada jadwal pergi bareng ke luar, misal jadwal ziarah ke masjid luar Mekkah”, tegasnya, menyimpulkan sesi curcolnya malam itu, sambil tersenyum seolah membayangkan betapa lugunya ia di kali pertama masa tugasnya sebagai muthowif.
Saya ikut tersenyum membayangkan seorang ustadz muda dikerubuti emak-emak jamaah usia muda sampai lansia dengan berbagai komplein. Saya juga membayangkan: ada puluhan, bahkan ribuan pemuda asal Madura lain yang mencari nafkah di tanah para Nabi ini, merantau hingga ribuan kilometer demi kehidupan yang lebih baik. Kebanyakan muthowif memang berasal dari Pulau Karapan Sapi itu. Yup, Allahlah yang menjaga mereka di tanah haram itu.
Penulis: Sari Kusuma