Indonesia dan Malaysia memiliki nenek moyang yang berasal dari bangsa yang sama, yaitu bangsa Austronesia. Awalnya Indonesia dan Malaysia termasuk dalam wilayah nusantara ketika Kerajaan Sriwijaya memiliki luas wilayah yang mencakup wilayah Indonesia dan Malaysia. Corak budaya melayu yang lahir pun juga tak berbeda jauh antara Indonesia dan Malaysia. Namun, kedua berbeda nasib. Indonesia dijajah terlebih dahulu oleh Portugis saat mereka mencapai daratan Maluku. Kemudian, Cornelis de Houtman dikirim ke Indonesia untuk melakukan ekspansi dan mencari rempah-rempah yang saat itu sangat diminati oleh masyarakat Eropa. Belanda pun mewarisi wilayah yang ditinggal oleh Portugis. Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Belanda juga memberikan pengaruh yang signifikan kepada budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah adanya warisan peraturan perundang-undangan Belanda yang sampai saat ini digunakan di Indonesia. Sedangkan Malaysia dijajah oleh Kerajaan Inggris. Peraturan yang diberlakukan juga peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Inggris. Jadi, apa yang dihasilkan oleh Malaysia dan Indonesia akan berbeda. Dari sanalah perbedaan Indonesia dan Malaysia terlihat jelas. Kemudian, negara serumpun ini menempuh jalan yang berbeda.
Berbagai konflik bilateral terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Puncaknya ialah Pulau Sipadan dan Ligitan di klaim menjadi wilayah teritorial Malaysia yang seharusnya termasuk dalam wilayah Indonesia. Berbagai hujatan ditujukan kepada pemerintahan Malaysia yang seenaknya saja melakukan hal itu. Lalu, rakyat Indonesia dan Malaysia pun terpecah dan saling mempermasalahkan hal ini. Jikalau ditelusuri lebih lanjut, kita akan menemukan titik kesalahan dan ketersangkaan. Bahwa banyak hal yang luput dari perhatian kita. Kita terlalu sibuk dengan berita yang tersebar di berbagai media. Seharusnya, kita harus melihat secara objektif agar kita tidak terjebak pada skeptis yang salah.
Permasalahan Sipadan dan Ligitan merupakan permasalahan yang panjang hingga melibatkan Mahkamah Internasional. Hasilnya, Malaysia memenangkannya dan dapat mengklaim wilayah itu sebagai daerah kekuasaanya. Namun lagi-lagi masyarakat dibebankan berita yang subjektif oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Permusuhan pada tingkat bawah dapat memicu adanya perselisihan di tingkat hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia. Seharusnya permasalahan ini harus dapat dipahami oleh semua pihak, tidak terkecuali masyarakat di tingkat bawah. Sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman antara satu pihak ke pihak lainnya. Pemerintah haruslah memberikan keterangan yang jelas agar masyarakat tidak termakan isu dari media yang memberikan opini sesat. Dan masyarakat pun juga harus jeli terhadap sumber berita agar info yang didapat itu valid.
Kasus lainnya ialah adanya isu Pemerintah Malaysia yang mengklaim Tarian Reog Ponorogo sebagai salah satu budaya mereka. Hal ini menimbulkan dampak yang berbahaya di semua kalangan. Namun, ternyata permsalahan ini bukanlah salah Pemerintah Malaysia, melainkan media yang ‘bermain kata’ terhadap pernyataan Pemerintah Malaysia. Pemerintah hanya berkata bahwa Reog Ponorogo hanyalah diakui sebagai budaya tari. Hanya sebatas itu. Namun media melebih-lebihkannya dengan menyatakan bahwa Malaysia mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya tari mereka. Oknum-oknum yang ingin merusak hubungan Indonesia dan Malaysia itu selalu memainkan perannya. Dan salahnya kita itu selalu terjebak pada permainan mereka.
Keretakan hubungan ini haruslah diperbaiki. Karena, Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang sangat berpengaruh di negara-negara ASEAN. Dan sebentar lagi negara-neraga ASEAN akan melaksanakan agenda besar di penghujung tahun 2015, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Oleh karenanya perlu diadakan penyambung lidah untuk menjadi atmosfir politik ASEAN tetap stabil.
Penulis: Ahmad Ghiffari Zain, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran