Motor penggerak ekonomi yang berhubungan dengan fiskal bersumber dari dua pos penerimaan, pajak dan bea cukai. Keduanya mengatur debit penerimaan negara dan mengalirkannya sesuai dengan arahan kebijakan fiskal. Insentif fiskal kemudian disusun pemerintah guna mendorong investasi agar target pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan tercapai. Pada titik ini, pajak dan bea cukai bukan melulu menjadi instrumen kebijakan namun juga sebagai infrastruktur pemerintah yang memiliki pengaruh luas terhadap stabilitas perekonomian.
Menyoal kebijakan cukai, Indonesia mengatur pengenaan cukai untuk tiga hal; hasil tembakau, minuman mengandung metil alkohol dan etil alkohol murni (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007). Cukai Hasil Tembakau (CHT) mendominasi penerimaan dalam negeri sebesar 95% di atas cukai lain. Penerimaan CHT terus melonjak setiap tahun, sejalan dengan bertambahnya produksi dan konsumen rokok (khusunya usia muda). Rokok yang setidaknya mengandung 15 zat kimia berbahaya memiliki pasar yang sangat besar. Riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbang) Kementrian Kesehatan menjelaskan bahwa pravalensi konsumsi rokok cenderung meningkat pada laki-laki dan perempuan. Di tahun 2015 jumlah perokok aktif Indonesia mencapai 57.750.592 orang, setara dengan 11 kali jumlah penduduk Singapura. Ini mengindikasikan luasnya pangsa pasar rokok yang kemudian membuat pendapatan Cukai Rokok dirasa begitu vital bagi ruang fiskal yang tak kunjung longgar. Setidaknya 10,2% pendapatan pajak negara ‘bergantung’ dari sana (Kemenkeu, diolah). Jumlah ini jauh di atas Singapura (2,1%), Malaysia (2,4%), Vietnam (2,5%) dan Australia (2,3%).
Sayangnya, spending yang harus dibayar pemerintah akibat konsumsi rokok jauh lebih besar dibanding pendapatan negara melalui CHT. Menurut Balitbangkes Kementerian Kesehatan, pada tahun 2013 saja kerugian ekonomi guna menanggulangi kesehatan para perokok mencapai Rp 378,75 triliun (3,5 kali pendapatan CHT 2013) dan diprediksi terus meningkat seiring dengan melonjaknya produksi rokok. Ini adalah ongkos ekonomi yang wajib dibayar, akibat besarnya ketergantungan negara terhadap cukai rokok. Ini sekaligus menandakan bahwa pemerintah lebih gemar menyelesaikan masalah secara kuratif dibanding mengambil langkah preventif.
Paradoks Fiskal
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 117 Tahun 2009 dengan gamblang menjelaskan Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2015-2020 berprioritas pada kesehatan masyarakat, diatas penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara. Pemerintah sebetulnya sudah diberi waktu agar fokus mengembangkan penyerapan tenaga kerja (2007-2009), memprioritaskan pendapatan (2010-2014) dan tahun ini (sampai 2020) saatnya orientasi CHT diubah ke arah perbaikan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hal itu, perbaikan kesehatan akan terjadi hanya jika pemerintah berhasil menekan konsumsi rokok secara bertahap. Solusi yang kerap disusun untuk menekan konsumsi rokok adalah dengan menaikkan tarif cukai setiap tahun. Namun, tidak pernah ada bukti yang menerangkan bahwa kenaikkan tarif cukai menurunkan permintaan rokok (demand). Kenaikkan tarif cukai yang bertahap diikuti dengan naiknya pendapatan perkapita masyrakat membuat harga rokok tetap terjangkau. Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki cukup pendapatan, rokok ilegal masih bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Jadi, menaikkan tarif cukai jelas bukan solusi tunggal guna mereduksi permintaan rokok dalam negeri.
Jika masyarakat jeli, dari sinilah paradoks fiskal bermula. Negara sudah terlalu candu terhadap penerimaan cukai rokok, begitupun dengan tenaga kerja, setidaknya 6 juta penduduk menggantungkan hidupnya pada industri ini. Meski demikian, seharusnya ini bukan menjadi alibi pemerintah untuk tidak konsisten menjalankan roadmap IHT yang telah dibuat. Pemerintah sudah benar dengan mengganti sistem cukai Ad Valorem kepada sistem cukai spesifik sehingga penerimaan fiskal dirasa lebih efisien, namun sudah saatnya skema penerimaan fiskal juga diubah agar ketergantungan negara pada CHT perlahan berkurang. Sayangnya, syahwat ekonomi sepertinya tak kuasa dibendung pemangku kebijakan. Target CHT terus dibuat naik kelas, penerimaan CHT tahun ini saja ditargetkan sebesar Rp 120,6 triliun, meningkat sekitar 4% dari realisasi 2014, dan akan naik 16% pada APBN 2016. Jika roadmap IHT 2015-2020 dijadikan landasan pertimbangan, pemerintah sebenarnya tidak perlu menaikkan target CHT tahun depan. Sebab faktanya, kondisi fiskal dan masyarakat seringkali berbanding terbalik, semakin sehat kondisi fiskal maka semakin buruk kesehatan masyrakat.
Mengurai Ironi
Dari mana ironi fiskal ini mesti diurai? Pertama, secara bertahap target fiskal akan CHT wajib dipangkas demi mereduksi ketergantungan. Instrumen lain sebenarnya pemerintah dapat gunakan untuk menggantikan pendapatan CHT, misalnya dengan mengenakan cukai kepada produk lain seperti kopi. Pemerintah juga penting mendengarkan paparan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyoal potensi pajak tidak terpungut yang mencapai Rp 200-300 Triliun pertahun, belum lagi jika ditambah eksploitasi ilegal sumber daya alam yang hasilnya tidak masuk ke kas negara. Jika ini bisa dimaksimalkan, tentu negara tak perlu lagi terlalu ‘candu’ terhadap cukai ini. Kedua, kompleksitas struktur tarif cukai rokok secepatnya harus disederhanakan. Sampai tahun ini diberlakukan 13 layer yang terdiri dari 6 layer Sigaret Kretek Tangan (SKT), 4 layer Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan 3 layer Sigaret Putih Mesin (SPM). Simplifikasi struktur tarif CHT harus dilakukan secara bertahap demi efisiensi dan kemudahan pelaksanaan kebijakan cukai, serta demi mereduksi praktek ilegal cukai rokok yang ditaksir mencapai Rp 9,5 triliun dalam setahun (YLKI, 2015). Struktur trarif cukai juga harus menunjukan keberpihakan kepada layer yang kandungan lokalnya lebih tinggi, tujuannya jelas, mengakomodir kepentingan petani lokal dan dalam negeri. Disisi lain, insentif dan kelonggaran tarif cukai layak diberikan kepada industri SKT yang menyerap paling banyak tenaga kerja, namun pangsa pasarnya terus tergerus oleh industri SPM dan SKM.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan pengawasan ketat terhadap Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Daerah Rokok yang dikelola oleh pemerintah daerah. Sejatinya, minimal 50% dari dana tersebut wajib digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan (khususnya yang berhubungan dengan rokok), namun dalam prakteknya banyak sekali terjadi penyimpangan. Proses pengawasan hanya dilakukan oleh Kementerian Keuangan, sedangkan pemerintah daerah hanya membuat laporan penggunaan DBHCHT dan tidak pernah dilakukan audit atas pengelolaan dana tersebut. Keempat, hal yang juga penting dilakukan pemerintah adalah merevaluasi dan memperketat regulasi batasan usia konsumen rokok guna menekan populasi perokok dibawah umur. Mengendalikan iklan, promosi dan sponsor rokok pada waktu dan tempat-tempat tertentu juga penting selain edukasi yang terus digalakkan, agar masyrakat sadar akan pentingnya kesehatan.
Pada akhirnya, segala ikhtiar ekonomi harus diupayakan disamping penegakan integritas kebijakan dan mengembalikan keberpihakan kepada amanat Undang-Undang. Agar kelak tercipta sebuah tatanan baru, bahwa didalam rakyat yang sehat akan ada fiskal yang kuat.
Penulis: Fikri Ismail, Junior Research Fellow Center For Information and Development Studies (CIDES) – ICMI