SuaraJakarta.co – Dalam hitungan bulan, kita akan dihadapkan dengan sebuah perhelatan maha akbar yang konon akan menyulap bagaimana nasib kita kedepan. Bisa jadi nanti nasib kita menjurus ke arah peruntungan, tapi tak menutup pula kemungkinan menjurus ke arah yang berlawanan. Lalu pertanyaannya, apakah kita secara sadar benar-benar telah siap untuk menyaksikan pentas sulap ‘politik’ maha akbar itu? Jika sulap politik yang dimaksud adalah soal pilkada serentak, benarkah kita sudah siap lahir-batin menghadapinya?
Pertanyaan tersebut bukan ditujukan untuk para kompetitor yang akan bertarung memperebutkan kuasa, bukan. Barang tentu mereka sudah siap dengan segala sesuatunya. Mereka tentu sudah siap dengan amunisi miliaran rupiah yang sudah mereka tabung bertahun-tahun lamanya, mungkin. Mereka pun sudah tuntas dengan segala lobi-lobi di partainya, mungkin. Mereka juga sudah selesai dengan berbagai pendekatan ke semua bos-bos korporasi, mungkin. Dan yang terpenting, mereka sudah matang dengan macam-macam trik sulap yang akan mereka pentaskan saat konser politik berlangsung.
Agar ketika konser politik dimulai kita tetap terjaga dan waras, alangkah baiknya kita selalu ingat, bahwa konser hanyalah euforia sesaat. Di mana aktor pada saatnya akan meninggalkan panggung, dan penonton pada waktunya akan pulang. Begitulah lazimnya konser, penonton dan aktor datang dan pulang.
Pilkada Sebagai Hadiah Reformasi
Berpuluh-puluh tahun lamanya, banyak yang bilang 32 tahun lamanya, kita hanya bisa tunduk, diam, dan meratapi nasib kita di bawah rezim otoritarian Soeharto. Selama itu pula tak banyak yang bisa kita perbuat untuk negeri kita ini. Jangankan untuk mengurus negeri, mengurus badan sendiri supaya tak mati dibedili saja sangat begitu sulit.
Di jamannya, negeri ini ibarat papan catur dengan satu pemain, dan kita adalah pion-pion yang leluasa dia bongkar-pasang semaunya, karena dialah faktanya satu-satunya pemain tunggal. Dialah yang oleh Jeffrey A. Winters diidentifikasikan sebagai oligarki sultanistik. Betapa beruntungnya kita yang tidak merasakan jaman itu. Masa di mana hak politik adalah keniscayaan yang susah didapat.
Tetapi ikhwal ini bukan berarti orba tidak memungkinkan munculnya mekanisme pilkada, pilkada tetap ada namun dalam barometer demokrasi versi minimalis mereka sendiri. Sebab pilkada di jaman itu secara de facto hanya berisi omong kosong belaka. Seluruh calon pemimpin lokal nyatanya telah dipersiapkan dan disokong melalui mandat pusat. Daerah hanya bertugas mengafirmasi kemauan pusat dengan mendramatisir kepura-puraan prosedural demokrasi di arena lokal. Beda dengan sekarang, di mana kita bebas melayangkan pilihan pada calon kepala daerah tertentu yang sekiranya menurut kita pantas. Kendatipun bopeng politik lokal masih sering kita temui di sana-sini dalam ragam bentuk kerjasama kekuatan-kekuatan informal dengan para birokrat dan politisi setempat. Joel S. Migdal menyebut persekongkolan mereka-mereka ini sebagai “segitiga penyesuaian” (Bosisme dan Demorasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia, John T.Sidel).
Keberadaan preman lokal yang oleh Migdal disebut sebagai local strongmen, atau predator penghisap yang oleh Sidel disebut sebagai local boss, dan para politisi neo-soeharto di tingkat lokal, merupakan implikasi langsung atas terjadinya perubahan relasi state-society sepeninggal orba, di samping diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah sesaat setelah reformasi digulirkan (Shadow State..? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, Syarif Hidayat). Dengan memaksimalkan kekosongan kuasa di aras lokal, para aktor saling berebut, menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai cara demi memperoleh pusat kuasa baru. Di mana hal itu tidak dapat mereka lakukan sewaktu Soeharto berkuasa.
Lalu sekarang, saat hak politik telah seutuhnya menjadi identitas bagi fitrah manusia-manusia Indonesia yang merdeka, apa kita hanya akan tetap diam, meneruskan tradisi sebagaimana hal itu terjadi di masa-masa kelam orba dan era demokrasi terpimpin sebelumnya? Apa kita rela kita dipimpin para jawara yang bengis? Para oligark picik? Atau politisi-politisi baru neo-soehartois?
Apabila pilkada adalah anugerah reformasi, maka pilkada langsung adalah ganjaran jariyah yang turut serta bersamanya. Di tengah ganjaran yang kita terima, alangkah naifnya jika kita masih saja belum menggunakan hak politik kita dengan bijak. Menggunakan hak politik dengan bijak berarti menggunakannya secara sadar, bahwa pilihan politik adalah pilihan yang membawa dampak pada aspek kehidupan lainnya: ekonomi, sosial, budaya, agama, bahkan sampai urusan tektek bengek semacam ijin nikah dan lain sebagainya. Maka persoalan pilkada bukan hanya persoalan sekejap mata layaknya sebuah konser. Karena buntut persoalan pilkada tidak cuma berhenti saat kita selesai datang memilih atau tidak sama sekali memilih, melainkan berkesinambungan sampai beberapa tahun setelahnya.
Konsekuensi Pilkada
Ada banyak konsekuensi yang timbul sebab pilkada. Lahirnya dinasti politik di berbagai daerah merupakan manifestasi atas konsekuensi pilkada dalam pola yang lain. Dikategorikan sebagai pola yang lain karena dinasti politik bukanlah hasil yang sebenarnya diharapkan. Sekalipun dihasilkan melalui sebuah proses demokrasi yang berlandaskan konsensus bersama. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan kandidat terpilih, karena kita sendirilah yang memilih atau karena kita memang tidak sama sekali memilih. Munculnya dinasti politik adalah impak segala kompleksitas hukum, sosial, ekonomi, politik yang melanda setiap dimensi sudut kehidupan kita. Untuk itu, sebesar apapun kompleksitas yang sedang kita alami, kita harus kembali merenungkan apa yang sudah Lord Acton katakan: “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutelly” (Sisi Gelap Demokrasi, Leo Agustino). Bahwa pilkada adalah jalan menuju pembangunan jejaring dinasti memang tidak bisa dinafikkan. Dan bahwa pilkada juga adalah jalan mengakhiri hegemoni dinasti, tidak bisa dinafikkan pula. Pilihan ada di tangan kita!
Penulis: Ahmad Nurcholis, Warga Nahdliyyin Banten. Mahasiswa Fisip UIN Jakarta. @Iceng__