SuaraJakarta.co – Ada sebuah pernyataan yang menarik perhatian dan mungkin kita bisa renungkang bersama ‘what you pay is what you take’ atau ‘what you learn is what you give’. Ada salah seorang teman saya sebagai mahasiswa hukum berkomentar ditengah-tengah diskusi tentang sebuah orientasi kehidupan ia menyatakan bahwa biaya kuliah yang mahal itu sesuai apa yang kita dapatkan secara material dikemudian hari.
Mari kita kaji pernyataan salah seorang mahasiswa hukum ini. Benarkah biaya kuliah yang kita keluarkan dan ilmu pengetahuan yang kita dapati itu ditujukan demi kepentingan material yang diharapkan dapat memenuhi hidup layak? Apakah kehidupan yang layak diindikasin dengan materi yang berlimpah? Dan apakah semerta-merta ilmu pengetahuan baik dibidang kedokteran, ekonomi, hukum, teknologi dll untuk kepntingan idividual?
Pertama yang harus kita pahami adalah ilmu pengetahuan diciptakan Tuhan dan ditemukan oleh Manusia adalah demi dan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Jadi, pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu sendiri tidak bersifat eksploitatif tapi melainkan bersifat akomodatif dan universal. Dalam arti tidak terbatas pada kalangan yang memiliki kemampuan untuk mengaksesnya.
Secara historis para ‘bapak’ ilmu pengetahuan atau penemu ilmu pengetahuan seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Descrates, John locke, dan Karl Marx tidak pernah memprivatisasi ilmu pengetahuannya untuk dirinya sendiri ataupun untuk golongan tertentu. Mereka memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan semerta-merta untuk dipelajari oleh semua umat manusia demi kebaikan bersama dalam rangka pencarian kebenaran dan pemecahan sebuah masalah. Jadi, secara historis kita dapat pahami bahwa ilmu pengetahuan ditujukan untuk membantu manusia membangun perdaban yang tanpa adanya segala bentuk penindasan yang dimana setiap orang berhak mendapatkan ilmu pengetahuan tanpa dihalangi oleh keterbatasan materi. Jadi sangat keliru apabila ada yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan semata-mata hanya demi kepentingan material. Sikap seperti ini telah bergeser dari nilai nilai yang ideal dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jadi kita telah ter-eksploitasi dari orang orang yang memprivatisasi ilmu pengetahuan dalam bentuk ijazah atau gelar yang pada gilirannya nanti memaksa seseorang untuk menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan selama ini dalam kata lain balik modal. Dan ini adalah bentuk konstruksi sosial yang dimana setiap orang memiliki predikat bagi pencapaiannya untuk didistribusikan pada kelas kelas tertentu dan proses proses berikut, telah menanamkan sebuah mindset atau pola pikir tentang ‘what you pay is what you take’.
Ketika kehidupan manusia hanya terbatas kekayaan materil disaat itu jugalah manusia telah menganulir eksistensinya sebagai manusia. Kenapa dikatakan menganulir eksistensinya sebagai manusia, karna manusia tidak semerta-merta mahluk materi tapi juga ada jiwa dan pikiran yang menjadi sebuah entitas yang tak terpisahkan. Karena kebutuhan materi pada dasarnya hanyalah untuk menunjang aktivitas sehari-hari seperti sandang pangan dan papan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri mempunyai tanggung jawab moral untuk saling berbagi ilmu pengetahuan tanpa berharap mendapatkan kembali apa yang telah ia keluarkan secara material dalam mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut. Jadi baiknya ilmu pengetahuan adalah hak siapapun.
Untuk itu kita harus menanamkan paradigma ‘what you learn is what you give’ bukan ‘what you pay is what you take’ yang berarti ilmu pengetahuan yang telah diciptakan Tuhan dan ditemukan dan dipelajari oleh umat manusia digunakan untuk kepentingan bersama bukan untuk kepentingan para penguasa swasta dan borjuis kecil.
Sekian dan terima kasih, semoga tulisan yang mendadak ini sedikit dan banyaknya dapat bermanfaat bagi siapapun yg membacanya. Amin.
Penulis: Villarian, Ryan Martin, Chaidir Ali (Warga Komunitas LiNTTAS/Lingkar Studi Tangerang Selatan)