Suarajakarta.co – Bulan Agustus tahun ini berbeda dengan tahun-tahun yang lain. Apa sebab? Selain adanya peringatan proklamasi tahun 45’, juga terdapat momentum penting muktamar dua organisasi besar bangsa, NU (ke-33) dan Muhammadiyah (ke-47). Tema muktamar yang diusung keduanya memiliki substansi yang koheren satu sama lain. Yaitu bertekad memperkokoh bangunan kebangsaan yang cerah, maju dan beradab. Sungguh mulia sekali.
Pun, tema yang ‘mulia’ ini bukan cuma sebatas basa-basi. Setidaknya hal ini terlihat jelas dalam sikap kedua organisasi tersebut terhadap korupsi. Keduanya satu suara mendukung hukuman seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana korupsi. Komisi Bahtsul Masa’il Waqi’iyah NU dalam muktamar kemarin menghasilkan kata sepakat terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, di samping pelaku pembunuhan serta produsen, pemasok, dan pengedar narkoba.
Sedangkan Muhammadiyah mengusulkan pelarangan salat jenazah terhadap koruptor. Hal ini disampaikan oleh Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dalam pidatonya di Sidang Pleno III Dinamika Wilayah dan Otonom. Dahnil menilai praktek korupsi lebih bakhil dari praktek genosida sekalipun. Di samping itu, ia merekomendasikan fatwa yang menyatakan seluruh ibadah yang dikerjakan para pencuri uang rakyat itu tidak sah.
Keduanya sudah gerah dan jijik dengan prilaku gelap, primitif dan tak beradab ini. Maka, hukuman mati dan pelarangan menyalatkan jenazah koruptor dianggap relevan saat ini.
Bagi penulis, pengambilan sikap oleh dua organisasi besar ini menimbulkan setidaknya dua hal. Pertama, hal ini menandakan keganasan korupsi yang sudah mencapai titik didih. Ini merupakan peringatan yang sangat keras terhadap bangsa yang terlalu lama mabuk akan manisnya bualan pembangunan. Wacana pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus direproduksi seolah menutup mata dan telinga dari kasarnya perbuatan lancung korupsi. Maka, hukuman mati dianggap sebagai upaya mengakhirinya.
Kedua, sebagai organisasi yang dikenal toleran dan inklusif, pengambilan sikap ini terkesan terburu-buru dan abai terhadap hingar-bingar perdebatan diskursus yang ada. Sebab, gagasan tentang penerapan hukuman mati ‘menuai’ polemik tersendiri. Kita tahu, gagasan ini, selain mendapat banyak dukungan di satu sisi, pun mendapat penentangan yang cukup keras di sisi lain. Penentangan ini datang terutama dari aktivis HAM yang menganggap hukuman mati bagi koruptor sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Oleh karena tak manusiawi, maka dianggap tak beradab.
Penting bagi kita melihat dua hal ini yang kelihatannya kontradiktif satu sama lain. Di satu sisi, agenda pembabatan penyakit korupsi dinilai sudah ‘jatuh tempo’ dan tak bisa ditolerir lagi. Sehingga menghasilkan kesimpulan perlunya penerapan hukuman mati. Tetapi di sisi lain, penerapan hukuman mati dan pelarangan menyalatkan jenazah koruptor terlihat seperti mendudukan korupsi sebagai suatu hal yang bersifat privat. Bagaimana tidak? Kalau penuntasan korupsi hanya ditempatkan pada persoalan ‘mematikan’ atau tidak menyalatkan, maka sama saja menganggap korupsi berada pada wilayah hablum min alloh (privat). Padahal, korupsi juga harus ditempatkan pada konteks hablum min an-naasnya, yakni sebagai dosa sosial. Oleh karena kesosialannya itu, upaya pemberantasan korupsi harus dikaitkan secara utuh pada relasi sosialnya yang nyata. Tanpa begitu, perdebatan akan terjebak pada ‘setumpuk’ bahasa doktriner belaka.
Maka bagi penulis, persoalan penuntasan korupsi harus dimulai dari pencarian akar epistemologisnya. Kita tahu, persoalan korupsi itu tidak jatuh dari langit, melainkan mengandaikan relasi sosial dan konjungtur ekonomi-politiknya sejak lama. Sejarah mencatat, munculnya korupsi berawal dari pembentukan sistem kapitalisme yang diwujudkan lewat perserikatan dagang bernama VOC. Penguasaan sumber daya yang monopolistik, menjadi ajang pengkondisian bagi terciptanya sistem tata nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Nilai dan norma yang terlembaga menjadi hukum/de jure pada gilirannya melegitimasi setiap laku manusianya.
Bumi nusantara yang bercorak feodalistik kala itu, menjadi penopang bagi berjalannya praktek ekonomi kapitalisme a la VOC. Topangan ini begitu penting sampai-sampai pada masa Tanam Paksa, seorang Menteri Jajahan bernama Baud mengatakan Jawa sebagai “gabus tempat Nederland mengapung”. Prilaku elit pribumi kerajaan menjadi aktor yang aktif mendukung praktek penjajahan. Dukungan ini juga simetris dengan dibebaskannya tindakan korupsi bagi elit sebagai ‘usaha sampingan’ mempertebal kantong. Pihak kolonial tak ambil pusing soal korupsi. Yang penting adalah pasokan hasil bumi untuk pasar global tercukupi.
Setelah penjajahan berakhir di atas meja diplomasi (baca: KMB), relasi sosial ini tak serta merta berakhir pula. Justru di sinilah pentingnya melihat bagaimana struktur sosial yang telah lama ditanam oleh penjajah ‘diawetkan’ oleh elit pribumi kita. Terlebih pada masa Orde Baru (Orba) sebagai masa kapitalisme negara, praktek korupsi menemukan keleluasaannya yang mutakhir. Yang perlu diingat pada masa Orba adalah masa yang penuh represifitas, sensor ketat, pembatasan ruang politik bagi publik sehingga doktrin rezim menjadi sentral tanpa pengimbangan. Secara sederhana, praktek korupsi oleh elit negara berjalan bebas hambatan.
Paska reformasi sebagai momentum konsolidasi ekonomi neoliberalisme membuat praktek korupsi begitu tak kasat mata. Terjadinya desentralisasi kekuasaan membuat kantong-kantong kekuasaan tersebar secara acak. ‘Keran’ kebebasan yang terbuka lebar ternyata paradoksal dengan terbatasnya akses informasi oleh publik. Kebebasan di sini malah menjadi kebablasan. Akibat ‘kebablasan’ ini, wacana korupsi hanya terbatas pada pembahasan yang superfisial, tanpa menelisiknya lebih jauh sebagi lanjutan dari kontradiksi sistem kapitalisme.
Hemat penulis, persoalan korupsi janganlah dipreteli dari konteks pembentukannya yang bersifat sosial sehingga terkesan menjadi sesuatu yang berdiri sendiri dan tereduksi menjadi hanya persoalan privat. Persoalan korupsi harus ditempatkan pada persoalan publik, sehingga jalan penyelesaiannya juga bersifat publik. Sehingga keadilan menjadi nyata, tidak hanya kumpulan bahasa langit semata. Dan ini yang menjadi tanggung jawab NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi besar di tanah air.
Tak Ada Pilihan Lain
Lantas, bagaimana menjawab tantangan penyelesian korupsi? Sebagaimana kita ketahui, negara sudah mengatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang pemberantasan Tipikor. Tetapi, belum ada satu orang pun terpidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati. Pasalnya, hukuman ini berisi syarat yang sangat berat yang harus dipenuhi pengadilan untuk mengambil nyawa seorang terdakwa korupsi. Misalnya, ia pernah melakukan korupsi sebelumnya, melakukan korupsi saat negara dalam keadaan bahaya, mengalami bencana nasional, atau saat sedang terjadi krisis ekonomi.
Oleh karena itu, bagi penulis, hal demikian membuat logika hukum mengenai korupsi terlampau jauh dari realitasnya. Sebab hukuman mati hanya untuk tindak korupsi saat negara dalam keadaan genting, menyiratkan ringannya prilaku korupsi saat negara tidak dalam keadaan genting. Belum lagi, ini menyangkut persoalan negara dalam menerjemahkan situasi bahaya atau tidak bahaya yang tak lepas dari unsur-unsur kepentingan elit penguasa. Maka dari itu, alih-alih memberantas korupsi, UU ini justru abai terhadap perusakan korupsi yang membuat negara menjadi bahaya. Dengan kata lain, hukum ini cacat logika.
Tak ada cara lain selain menggugat persoalan korupsi menjadi gugatan terhadap ekonomi-politik. Bahwa praktek bejat ini tidak muncul begitu saja, melainkan melewati proses penciptaan yang begitu kompleks. Sebuah kredo menyatakan, “korupsi adalah bahaya laten dari kekuasaan”. Maka secara implisit korupsi adalah konsekuensi inheren dari sistem yang membentuknya, yakni kapitalisme. Oleh sebab itu, musykil bagi penulis jika perang terhadap korupsi hanya disandarkan pada hukuman mati dan fatwa belaka. Seharusnya kita sadari, penuntasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan menggasak prakondisi material yang mengondisikannya. Ini memang sungguh rumit. Tetapi NU serta Muhammadiyah harus berani memulainya.
Penulis: Khalid Syaifullah, Mahasiswa FISIP Jurusan Sosiologi, UIN Jakarta, Kader PMII Cabang Ciputat dan warga komunitas Lingkar Studi Tangerang Selatan (LiNTAS)