SuaraJakarta.co – Selasa, 30 Juni 2015 adalah tanggal jatuh tempo Yunani melunasi hutangnya kepada International Money Fund (IMF). Cicilan hutang sebesar US$ 1,7 Milyar atau setara dengan Rp 22,7 Triliun yang jatuh tempo hanyalah 0,5% dari total hutang negara tersebut yakni sebesar Rp 4700 Triliun atau hampir tiga kali APBN Indonesia.
Sejak krisis ekonomi 2008, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yunani berkurang drastis. Padahal, sektor pariwisata adalah andalan Yunani dalam menopang pendapatan negaranya. Ini bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia jika ingin serius dalam mengelola pariwisata. Konsekuensi dari pengembangan pariwisata adalah ketika ekonomi memburuk, maka wisatawan akan berkurang drastis. Dan apabila negara hanya bertopang pada satu sektor saja maka hal yang terjadi pada Yunani saat ini akan terulang.
Hubungan ekonomi Indonesia dan Yunani memang tidaklah terlalu kuat. Namun, Indonesia dapat meraup US$ 200 pertahun dari ekspor komoditas kelapa sawit dan komoditas turunannya. Walaupun tidak berhubungan langsung, kegagalan membayar hutang Yunani tetap dapat memberi dampak pada perekonomian di dalam negeri. Kegagalan Yunani dalam membayar hutang akan menimbulkan dampak psikologis terhadap pasar. Sentimen negatif terhadap Euro akan akan memperkuat nilai tukar dolar terhadap seluruh mata uang lain dunia. Hal ini akan membuat rupiah semakin terpuruk. Sehari pasca Yunani gagal bayar rupiah terus melemah ke angka Rp 13.331/US$.
Terus melemahnya dolar dan wacana Federal Reserve menaikkan suku bunga terus membayang-bayangi perekonomian Indonesia. Banyak pengamat yang khawatir para investor asing memindahkan dana mereka ke Amerika melihat kondisi keuangan negera tersebut yang terus meningkat. Padahal, saat ini 40% dana yang berputar di bursa efek Indonesia adalah milik asing. Bila hal itu terjadi mimpi buruk krisis moneter akan menjadi nyata.
Berpindahnya dana-dana asing yang ada di Indonesia akan menyebabkan perusahaan yang melantai di bursa efek kesulitan.Hal itu akan menimbulkan sederetan perusahaan gagal bayar dan berhenti beroperasi. PHK dan kebangkrutan akan terjadi dimana-mana. Krisis ekonomi yang dialami Indoneisa tahun 1998 terulang.
Pemerintah tentu sudah memprediksi berbagai kemungkinan yang telah terjadi. Bank Indonesia telah menyatakan siap melakukan intervensi pasar kalau-kalau rupiah terus melemah. Penggunaan rupiah di seluruh wilayah Indonesia semakin diperketat. Namun kondisi politik belum benar-benar baik. Kebijakan presiden yang akan mereshufle beberapa beberapa menteri termasuk menteri keuangan dianggap gegabah. Disaat negara sangat dekat dengan krisis seperti sekarang, penggantian menteri bukanlah hal yang tepat. Penyesuaian menteri yang baru akan menyulitkan apabila krisis yang membutuhkan penanganan cepat terjadi. Oleh karena itu sudah sepatutnya prisiden mencari kembali waktu yang tepat untuk melakukan reshuffle.
Penulis: Erwinsyah Ardi, Mahasiswa Manajemen, Universitas Padjadjaran