SuaraJakarta.co – NU merupakan salah satu ormas islam terbesar dengan segala sumbangsihnya bagi eksistensi NKRI. Hal ini adalah fakta yang tidak bisa ditawar lagi. Kelahiran NU bisa dibilang adalah jalan panjang menuju NKRI. Karena lahirnya NU sebagai ormas pencerahan di zaman kolonial tak lain dan tak bukan sangat erat kaitannya dengan kesadaran kalangan ulama akan pentingnya identitas kebangsaan. Identitas yang di kemudian hari membentuk rasa persatuan dan menjadi simbol perlawanan terhadap kesemena-menaan kolonialisme. Kini, setelah NKRI merengkuh kemerdekaan, kewajiban membela bangsa tersebut masih konsisten NU lakukan dengan beragam pembelaan di bawah payung ideologi pancasila. Terutama dalam membendung kelompok-kelompok radikal yang mencoba-coba mereka ulang ideologi bangsa.
Perjalanan NU yang lekat dengan gelanggang kepentingan politik nasional tersebut pada akhirnya berimbas pada ruh yang menjiwai semangat NU untuk bergerak di segala sisi. Hal ini pada pengamatan hemat penulis, mempunyai dua dampak diametral sekaligus. Di satu sisi menarik NU untuk lebih berperan dalam kehidupan dimensi politik bangsa, di sisi lain, yang tentunya berakibat fatal, tidak terbendungnya beragam kepentingan politis di tubuh NU itu sendiri. Baik yang berasal dari motif perseorangan maupun faksi di luar NU. Untuk kasus yang terakhir, gemuruhnya membuncah pada muktamar kali ini.
Khittah Tersirat Muktamar Jombang
Muktamar NU baru saja selesai beberapa waktu lalu. Walau begitu, sisa-sisa euforia dan animonya masih amat terasa hingga saat ini. Beragam wacana pasca muktamar selesai mulai muncul di permukaan, mulai dari tidak dianggap sahnya hasil muktamar, sampai wacana soal membawa tuntutan hasil muktamar ke ranah hukum. Tentu berita-berita seperti ini perlu diverifikasi kembali keabsahannya, jangan sampai wacana yang bergulir dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk dijadikan counter opinion untuk menyerang substansi tema muktamar kali ini, yakni ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’. Bisa saja ricuhnya para muktamirin dan kegaduhan saat muktamar berlangsung dijadikan titik balik reduksi atas legitimasi islam nusantara yang diperjuangkan oleh NU itu sendiri. Apalagi melihat gerakan-gerakan fundamentalisme agama yang salah kaprah menilai tentang esensi apa itu islam nusantara.
Maka harus digarisbawahi pula bahwa antara gagasan NU tentang islam nusantara secara institusional, dengan kegaduhan pada beberapa tekhnis sidang di muktamar tidak memiliki relevansi sama sekali. Karena yang satu sifatnya idealistik, sedang yang lain sifatnya materialisme pragmatik. Untuk itu, rekonsiliasi pasca muktamar harus segera dimandatkan kepada firqoh-firqoh yang berkompetisi untuk menjalin kembali tali silaturahmi, agar kesalahpahaman tentang ide muktamar yang diusung tidak disangkutpautkan dan melebar pada pengerdilan tema muktamar yang mengemban nilai-nilai universalitas perdamaian dunia.
Suksesi yang diwarnai hingar bingar politis, secara naluriah manusiawi memang masih bisa ditolerir selama masih berada dalam koridor persimitif non kekerasan; norma dan nilai-nilai yang dianut. Karena kita sendiri tidak bisa menampik bahwa tradisi suksesi dalam masa-masa khulafaur rasyidin pun nyatanya memiliki sejarah yang lebih hingar bingar, berujung pada kematian khalifah Umar, Usman, dan Ali. Maka dengan membandingkan suksesi yang terjadi di antara keduanya, suksesi NU kemarin masih bisa dibilang wajar dalam perspektif komparatif, karena tidak sampai melahirkan tindakan agresif serta represif yang di luar kendali. Tetapi, kendatipun tindakan ke arah tersebut masih terbilang jauh, bukan tidak mungkin dengan terpeliharanya benih-benih arogansi dan refresifitas, suatu waktu tindakan tersebut akan meledak dan muncul kembali. Sebab suatu budaya, tak terkecuali budaya kekerasan, lahir dari tradisi yang terus menerus dijaga.
Kita tahu, bahwa gegap gempita Muktamar 33 NU di Jombang menyisakan beragam ibrah bagi kita semua. Pelajaran tentang apa itu kekuasaan dan siapa yang pantas menggenggamnya. Alotnya perhelatan muktamar yang konon sudah panas sejak awal merupakan percikan informasi yang banyak dikutip beberapa media. Bahkan tak tanggung-tanggung, sampai-sampai Gusmus menceritakan tentang koran yang memuat headline soal muktamar NU yang gaduh saat beliau berusaha untuk meneduhkan suasana para muktamirin.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengomentari jalannya Muktamar Jombang, melainkan lebih kepada refleksi untuk melihat geliat politik di tubuh struktural NU yang faktanya bukan hanya panas di atas, tetapi juga sering terlihat pada struktural banom di bawah. Fakta ini didasarkan dari berbagai pencermatan penulis atas beberapa fenomena pemilihan ketua umum dalam beberapa banom NU. Pergeseran makna ke-NU-an yang seringkali didaulat oleh kekhilafan ambisi perseorangan menghasilkan kerancuan fungsionalisasi NU sebagai instrumen gerakan pengabdian non-politis. Dan hal ini pula yang semestinya dijadikan PR oleh generasi NU saat ini; membendung NU dari keterpecahbelahan serta intrik-intrik politik.
Berlinangnya air mata Gusmus pada muktamar kali ini adalah sebagian tanda kecil dari pelajaran dan refleksi yang dapat kita petik, betapa pergeseran nilai dan marwah NU sebagai organisasi non politis sudah mulai dirasakan kembali oleh kyai sepuh rohimakumullah tersebut. Sekalipun makna politik yang ditangkap bukan dalam bentuk yang lebih ekstrem semacam gejala evolusi menjadi partai politik atau afiliasi dengan partai tertentu, melainkan pada sikap dan perilaku muktamirin yang terbuai dalam gema perseteruan antar kubu.
Dengan demikian, wejangan dan sikap Gusmus yang menolak rekomendasi AHWA untuk didapuk kembali sebagai Rois Am NU secara tersirat mendeskripsikan pesan untuk meneguhkan kembali salah satu khittah NU tentang kemasyarakatan (tawassuth, tasamuh, tawazzun, nahi-munkar) dan yang terpenting tentang sikap NU yang bebas dari politik praktis. Wallahu a’lam..
Penulis: Ahmad Nurcholis, Warga Nahdliyyin Banten dan PMII Ciputat.