Catatan MIUMI untuk Ulama dan Intelektual Muslim Indonesia

MIUMI (foto : istimewa)
Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Indonesia (foto : istimewa)

Ulama? Siapa mereka?

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Ulama, merupakan warisan para Nabi (warasatul anbiya). Mari sejenak menilik kondisi ke belakang di mana kedudukan ulama adalah precious (berharga) di mata pemimpin, negara, ataupun masyarakat.

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, ulama tidak hanya pihak yang dilibatkan dalam pertimbangan maupun pengambilan keputusan kenegaraan. Bahkan, di zaman khalifah yang termasuk dalam Bani Umayah ini ulama memiliki tugas langsung dalam kepemimpinan daerah dan pengurusan Baitul Mal. Sebut saja gubernur Kufah, Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid bin al Khathab, gubernur Madinah, Abu Bakar bin Amr bin Hazm, dll.

“Rasulullah adalah pemimpin yang juga ulama terbaik,” demikian ditegaskan Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil., ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) dalam gelar MIUMI di panggung IBF 10 Maret lalu.

Bagaimana dengan realitas kondisi kini? Mungkin, tak salah jika mengatakan masyarakat, utamanya pemuda muslim tanah air, lebih kenal, hafal dan gandrung kepada aktris/aktor daripada ulama. Jika disebutkan Vidi Aldiano, Bunga Citra Lestari, Super Junior, Justin Bieber, dll kebanyakan akan bersorak riuh. Bebeda jika ditanyakan tokoh ulama kenamaan tanah air, mungkin banyak yang menggelengkan kepala tidak tahu.

Dalam aspek pemerintahan pun, ulama Indonesia yang dipayungi MUI (Majelis Ulama Indonesia) seakan tumpul. Dalam artian, fungsi MUI yang salah satunya sebagai mufti (pemberi fatwa) cenderung diacuhkan dan kurang mendapat dukungan penguatan dari pemerintah. Akibatnya, masyarakat pun acuh untuk memperhatikan, mendengar terlebih mengaplikasikan fatwa para ulama tersebut.

MIUMI menangkap hal tersebut sebagai kekhawatiran yang patut segera ditindak. Majelis atau organisasi ulama yang ada kurang memperhatikan riset dan lemah dalam sosialisasi, serta kurang bersungguh-sungguh dalam penegakkannya. Sehingga fatwa tersebut tidak sampai pada maksud dan tujuannya. Ini juga menjadi latar belakang kelahiran MIUMI yang menghimpun ulama dan intelektual muda dalam menegakkan kejayaan Islam.

MIUMI juga menyoroti pentingnya sifat mengikat dari fatwa ulama. Namun demikian, tahapan untuk mendukung hal tersebut pun harus jelas seperti adanya riset, sosialisasi fatwa, pelaksanaan dan pengawalan pelaksanaan fatwa.

MIUMI meletakkan basisnya pada penelitian tidak hanya kajian literatur agar tidak terjadi kontradiksi dalam pengaplikasiannya. Para ulama dan intelektual muslim yang tergabung di MIUMI adalah mereka yang memiliki integritas akidah tinggi dan tidak mentolerir aliran sesat dan aliran modern yang menyesatkan. Selain itu, mereka diwajibkan memiliki kemampuan akademik ilmiah yang diakui komunitas akademiknya. Akhlak dan kesiapan untuk bekerja sama dengan semua elemen Islam pun turut menjadi kriteria ulama dan intelektual muslim. Integritas itulah yang oleh MIUMI disorot sangat perlu dimiliki ulama dan intelektual muslim Indonesia.

Catatan ini sewaktu momen panggung MIUMI di IBF Senin, 10 Maret 2013.

Related Articles

Latest Articles