Beberapa hari yang lalu parlemen AS telah meloloskan rancangan Undang-Undang tentang kenaikan pagu utang sebesar 16.7 triliun dollar AS. Kubu Demokrat dengan kata lain telah mencapai kata sepakat kubu Republik.
Seperti kita tahu beberapa hari terakhir, media massa disibukkan dengan berita berhentinya kegiatan operasi sebagian lembaga negara di Amerika Serikat. Penutupan kegiatan operasi ini merupakan buntut dari tidak tercapainya kata sepakat dari kubu Demokrat dengan kubu Republik. Demokrat mengusulkan proposal reformasi jaminan kesehatan rakyat Amerika Serikat yang terkenal dengan nama Obamacare. Pihak Republik dengan kekuatan dominasinya di DPR menjegal rencana anggaran yang diajukan. Alasannya skema ini merugikan pengusaha dan pemerintah federal. Ada juga keluhan pajak tinggi yang dikenakan pada perangkat kesehatan, yang berakibat perginya pengusaha ke luar negeri.
Saat ini sengketa antara Demokrat dan Republik telah berhenti. Kesepakatan disetujui untuk menyelamatkan negara, di mana anggaran sementara pemerintah federal dibuka kembali sampai tanggal 15 Januari 2014. Kemudian diperluasnya otoritas pinjaman Amerika Serikat sampai 7 Februari 2013. Tekanan dari masyarakat luas membuat kubu Republik kembali meninjau langkahnya.
Jajak pendapat washington post/ABC news menunjukkan data yang menarik, 74% warga kecewa pada sikap Republiken. Angka ini jauh lebih tinggi dari 53% yang menyatakan kecewa pada kinerja Obama. Kubu Republik tentu saja tidak mau strateginya untuk menggaet suara dari kalangan pemilik modal ini, justru membuatnya kehilangan banyak suara yang signifikan. Bagaimanapun keberlangsungan hidup partai politik di Amerika Serikat masih ditentukan suara rakyat di pemilihan umum.
Hasil survei yang dilakukan Washington post/ABC News tentang Shutdown Amerika Serikat sungguh menarik. Tidak hanya menunjukkan bagaimana pendapat masyarakat Amerika Serikat secara umum terkait shutdown AS. Tetapi juga menunjukkan kebijakan pemerintah berpengaruh kuat terhadap pandangan masyarakat. Pengaruh kuat seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Sudah berkali-kali kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan suara masyarakat. Petani sering mengeluh kebijakan impor bahan pertanian. Tetapi para partai politik yang menyetujui peraturan tentang impor ini tetap bercokol kuat di kursi dewan perwakilan. Mereka masih “dipercaya” untuk mewakili rakyat di pemilihan umum. Begitu juga halnya saat rakyat meronta-ronta karena harga BBM naik, bagi hasil yang tidak menguntungkan antara Indonesia dan perusahaan asing, serta rentetan masalah di Indonesia selama ini. Para partai politik penghasil kebijakan tidak populis itu masih memiliki elektabilitas yang tinggi. Peraturan yang dibuat selama ini memang dapat berasal dari DPR atau menteri yang tidak mempunyai afiliasi dengan partai politik tertentu.Tetapi jika dicermati menteri pun dipilih oleh presiden. Sampai saat ini seluruh presiden yang pernah menjabat di Indonesia berafiliasi dengan partai politik tertentu. Sehingga hipotesis kekecewaan masyarakat tidak berbanding lurus terhadap partai politik yang dipilihnya semakin menguat.
Pelajaran penting bagi Indonesia tentang politik Amerika Serikat di krisis ini adalah bagaimana pendidikan politik sangatlah penting bagi masyarakat. Selama ini mungkin masyarakat tidak tahu mekanisme produksi suatu peraturan. Tidak tahu bahwa wakil rakyat yang mereka pilih mengkhianati suaranya. Sehingga kecaman mereka tidak disertai keengganan massal untuk memboikot partai politik tertentu. Terlebih jika pencoblosan sudah mengandung unsur uang dan insentif gelap lainnya.
Masyarakat yang mudah akses informasi di perkotaan tidak menjamin paham bagaimana suatu kebijakan dihasilkan di republik kita. Bisa dilihat dengan kinerja berbagai DPRD kota dan walikota sering dikecam kebijakannya. Belum ditambah pembahasan bagaimana kondisi di pedesaan yang kurang informasinya. Hal seperti ini yang membuat kebijakan pemerintah yang berasal dari legislatif maupun eksekutif tidak terlalu berpengaruh terhadap preferensi pilihan partai politik saat pemilihan umum.
Krisis Amerika Serikat juga sebagai pengingat bagi elite partai politik di negara ini bahwa dinamika politik sejatinya merupakan cara untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan justru membuat masyarakat menderita. Sering kali kubu-kubu yang berbeda menyatakan bahwa mereka bekerja untuk membela rakyat. Tetapi justru hasil yang dihasilkan adalah kebijakan yang menikam masyarakat itu sendiri. Kesadaran untuk membangun pengertian dan titik temu menjadi vital untuk segera menyelamatkan nasib masyarakat ke depan.
Penulis: Muhammad Jhovy Rahadyan,Mahasiswa Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Kepala Biro Bandung BEM Kema Universitas Padjadjaran 2013