Bawang, Inflasi, Kartel dan Manajemen

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Beberapa waktu ini harga bawang merah dan bawang putih mengalami kenaikan yang tinggi. Bahkan harga bawang merah dan bawang putih ini sering menjadi media hits dalam beberapa hari belakangan. Tentu saja karena ini menyangkut hal mendasar bagi setiap manusia, yaitu makan. Meskipun bukan makanan pokok untuk bertahan hidup bagi manusia, bagi bangsa Indonesia makan tanpa bawang merah dan bawang putih merupakan hal yang sulit. Bahkan beberapa hari lalu Menteri Perdangan yang mewakili pemerintah Indonesia, Gita Wirjawan, meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat atas kejadian ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan informasi bahwa inflasi sepanjang bulan Maret 2013 sebesar 0,63%. Angka ini merupakan inflasi bulan Maret yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Suryamin, Kepala BPS, faktor pendorong inflasi Maret tahun 2013 ini adalah bawang merah dan bawang putih. Mungkin banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa barang sederhana seperti bawang dapat menjadi faktor utama terjadi inflasi Maret tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Bawang merah  mempunyai andil 0,44% terjadi kenaikan harga sebesar 82,23% dari Februari ke Maret 2013.

Bahkan kenaikan harga bawang merah di Cirebon sempat mencapai153% dan Tasikmalaya menembus angka 122 %.  Untuk kenaikan harga bawang putih tertinggi terjadi di Bima yaitu sebesar 124% dan Sumenep yang mencapai 102%. Sementara kota lainnya kenaikannya berkisar25-90%.

Pemerintah yang menjadi poros utama perdagangan dan pertanian negeri pun panik dibuatnya. Setelah melakukan gerak cepat dengan mengimpor bawang secepatnya dan membuka kontainer bawang secara berkala, pemerintah pun mengusut kejadian langkanya bawang di Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun memanggil dan meminta keterangan dari para perusahaan importir bawang putih. Setelah melalui pemeriksaan, KPPU mendapatkan bukti-bukti kuat indikasi praktik kartel dalam bawang putih. Ternyata dari 114 perusahaan importir bawang yang memiliki rekomdendasi impor produk hortikultura (RIPH), hanya terdapat 12 perusahaan saja yang mengendalikan pasokan. 102 perusahaan lainnya hanya menjual kouta milik mereka kepada perusahaan sisanya . Indikasi kartel bawang putih pun tercium.

Jika kita melihat terjadinya masalah pada bawang ini, maka kita akan menyadari bahwa pengawasan terhadap perdagangan ini masih longgar. Masalah kartel, respon pasar terhadap penawaran dan permintaan bawang di waktu yang akan datang, serta antisipasi masih menjadi sesuatu yang harus disoroti. Hal semacam ini seharusnya sudah selesai jika saja langkah preventif dilakukan dengan benar. Dalam ilmu akuntansi manajemen, value added cost seperti biaya preventif, memang terkesan tinggi untuk mencegah terjadinya masalah di masa mendatang. Tetapi biaya unvalue added cost yang dikeluarkan untuk melakukan perbaikan atas masalah yang hadir nyaris selalu lebih besar. Dalam kasus bawang ini, unvalue added cost yang keluar lebih besar daripada value added cost.

Tidak cukup pengawasan, strategi mengontrol barang impor juga harus dikaji lebih dalam. Sudah menjadi berita umum bahwa bawang impor memiliki harga yang lebih murah dari harga bawang lokal. Bahkan jika mematok bea masuk ke dalam negeri sebesar 50% maka harganya tetap lebih murah dari harga yang dipatok mayoritas pedagang lokal. Muncul masalah di sini. Solusi yang bisa diambil adalah melakukan pembatasan kouta bawang impor yang masuk. Bukan hanya memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi. Kebijakan ini mempunyai pengaruh yang positif bagi iklim usaha di Indonesia. Tidak hanyak menguntungkan kas negara secara langsung. Kebijakan ini akan membuat pasar bawang tetap memiliki saingan kompetitif dengan harga murah. Petani dan pedagang bawang akan berlomba-lomba mencari akal agar produksi bisa dilakukan secara murah, sehingga biaya fixed cost produksi dapat semakin tidak berpengaruh besar terhadap harga bawang. Sehingga harga bawang pun semakin murah dan dapat bersaing. Iklim semangat bersaing dalam usaha pun semakin tumbuh. Adanya impor bawang ini tidak akan terlalu mengerikan seperti yang terlihat, tidak akan mematikan usaha secara keseluruhan. Karena kuotanya dibatasi.

Solusi ketiga adalah mulai melirik industri yang mengandalkan kualitas barang yang dijual. Bawang putih Indonesia ternyata memiliki kualitas yang lebih baik daripada bawang putih impor. Strategi pemilihan segmen pasar yang tepat justru akan membuat bawang ini dapat dijual lebih mahal lagi karena kualitasnya yang memang lebih tinggi. Maka pengaturan strategi segmenting, positioning, dan targeting akan sangat berpengaruh di sini.

Penulis: Muhammad Jhovy Rahadyan, Mahasiswa Jurusan Manajemen, FEB, Universitas Padjadjaran dan Penerima Beasiswa Astra 1st dari PT Astra International Tbk

Related Articles

Latest Articles