SuaraJakarta.co, JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan se-Dunia yang jatuh pada Senin, 8 Maret 2021 ini, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia melaunching kegiatan ‘Ngrumpi Gelora’ yang memiliki kepanjangan ‘Ruang untuk Maju Perempuan Indonesia Partai Gelora’.
Launching dilakukan oleh Ketua Bidang Perempuan DPN Partai Gelora Indonesia Ratih Sanggarwati pada acara Webinar ‘Muda-Muda Jadi Istri? yang digelar pada Jumat (5/3/2021).
“Launching ‘Ngrumpi Gelora’ ini diselenggarakan dalam rangka hari perempuan sedunia pada 8 Maret. Saya berharap dapat menjadi ruang bagi perempuan Indnesia bisa maju cerdas dan berdaya bersama-sama,” kata Ratih dalam keterangannya, Senin (8/3/2021).
Karena itu, para perempuan Indonesia diharapkan senantiasa belajar dan mengembangkan diri, serta berdiskusi tema-tema perempuan dan anak.
“Ngrumpi Gelora ini akan kita selenggarakan seminggu sekali setiap Hari Jumat sore,” ujarnya.
Para perempuan, lanjutnya, harus memaksimalkan perannya sebagai istri, ibu dan bagian masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata bagi para perempuan, termasuk mencegah adanya pernikahan dini yang masih marah di Indonesia.
“Tema acara saat ini menggelitik, pernikahan usia dini merupakan isu penting perempuan Indonesia. Sebab, kasus pernikahan dini makin memprihatinkan,” ujarnya.
Berdasarkan data Unicef, angka pernikahan dini di Indonesia tertinggi ketujuh di dunia yang menikah sebelum usia 18 tahun. Ha ini dipicu berbagai faktor antara lain faktor pendidikan, ekonomi dan tradisi.
“Pernikahan dini itu berdampak pada kematian ibu dan bayi, kesehatan anak baik fisik maupun mental, menciptakan kekerasan dalam rumah tangga. Jadi pernikahan dini itu, dampak negatifnya lebih banyak daripada positif,” katanya.
Ratih berharap perempuan Partai Gelora dapat mengedukasi masyarakat sekitar mereka untuk mencegah adanya pernikahan dini.
“Saya berharap acara ini membuka mata kita tentang pernikahan dini, dampak negatinya yang dtimbulkan sangat banyak,” katanya.
Sementara itu, Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Prof Dr Hamka Sarah Handayani mengatakan, pernikahan dini bertentangan dengan UU No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, bahwa syarat minimal minikah usia 19 tahun.
“Kasus perkawinan dini mencuat kembali karena ada even organizer, Aisha Wedding yang menfasilitasi perkawinan usia 12 tahun dan juga ditemukan kasus di NTB adanya 6 siswa SMP menikah usia dini saat pandemi Covid-19,” kata Sarah.
Dalam kasus pernikahan dini di Nusa Tenggara Barat (NTB), kata Sarah, sungguh memprihatinkan akibat penyalagunaan sekolah daring selama pandemi Covid-19 ini, yang meniadakan sementara sekolah tatap muka.
“Berdasarkan laporan BKKBN, 6 anak SMP yang melakukan pernikahan dini berawal dari sekolah daring, yang dilakuka akibat tiak ada pembelajaran tatap muka. Pernikahan ini dipicu oleh aktivitas chatting yang dilakukan pelajar selama sekolah daring,” ungkap Sarah.
Sarah menjelaskan, angka pernikahan dini terjadi di Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Pernikahan dini banyak terjadi pada anak-anak perempuan, termasuk yang terjadi di Sulawesi Selatan baru-baru ini,” katanya.
Mereka yang rentan pernikahan dini, katanya, adalah anak perempuan, anak yang tnggal di keluarga miskin, anak yang tinggal di pedesaan, anak yang miliki pendiikan rendah dan pekerja perempuan di bawah 18 tahun yang bekerja di sektor informal.
Namun, Sarah memastikan bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor pendorong terjadinya pernikahan dini. Sebab, jika dihubungkan dengan penduduk miskin di provinsi-provinsi, ditemukan kasus di provinsi yang penduduknya miskin tinggi dan rendah.
“Tapi kalau kesejahteraannya rendah justru berpeluang besar melakuan pernikahan dini, sementtara dari kesejateraan tinggi memiliki prelevansi terendah melakukan pernikahan sebelum berusaia 18 tahun,” pungkasnya. [**]