SuaraJakarta.co, Jakarta – Memperingati Hari Anti Tembakau se-Dunia yang jatuh pada 31 Mei 2012, Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) melakukan riset media tentang isu tersebut. Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, menjelaskan bahwa isu paling disorot terkait dengan anti-tembakau adalah soal regulasi. Ini wajar, menurut Farid, karena aspek regulasi itulah yag menentukan seluruh proses produksi rokok. Mulai dari hulu hingga hilir.
“Riset media yang kami lakukan, menemukan ada total 692 pemberitaan soal tembakau yang mewarnai 3 media online terkemuka selama tahun terakhir ini. Dari jumlah tersebut, 28% nya adalah pemberitaan soal regulasi. Sebagai negara nomor 3 dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, wajar jika regulasi Indonesia mendapat sorotan. Apalagi, Indonesia salah satu negara yang belum meratifikasi konvensi FCTC, yang mengatur soal pengendalian dampak tembakau ini,” jelas Farid.
Menurut Farid, berdasarkan hasil riset IMMC, beberapa isu yang disorot terkait dengan soal regulasi tembakau di Indonesia adalah soal RPP pembatasan dampak tembakau (20% pemberitaan), Undang-undang Kesehatan (18%), larangan merokok (16%), tempat pengaturan khusus merokok (12%), iklan rokok (9%), pembatasan produksi (8%), kemasan rokok (7%), dan soal proteksi pemerintah (6%).
“Banyak sekali hal yang perlu diregulasi terkait dengan soal tembakau ini. Mulai dari soal produksi, distribusi dan penjualan, promosi, hingga proses pengemasan rokok. Semua ini perlu regulasi yang ketat, karena secara langsung maupun tidak, memiliki dampak terhadap pemenuhan hak-hak mereka yang merokok, tanpa melanggar hak mereka yang tidak merokok. Ini substansi dari regulasi ini.”
Di banyak negara, proses pengetatan regulasi tembakau ini memakan waktu yang tidak pendek, ongkos politik yang besar serta visi ekonomi yang tajam. Karena untuk memformulasikan sebuah regulasi baru terkait dengan tembakau, akan banyak sekali pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Dan Indonesia, menurut Farid, tergolong negara yang sangat longgar regulasinya terkait dengan tembakau ini.
Padahal, dampak dari tembakau sangat besar. “Menurut hasil riset IMMC, pemberitaan soal dampak tembakau berada di urutan ke-2 dari keseluruhan pemberitaan soal tembakau, yaitu 26% pemberitaan. Berada dibawah isu soal regulasi.”
Menurut Farid, ada tiga dampak besar dari tembakau yang menjadi sorotan media. Yang paling disorot adalah dampak kesehatan, yaitu 54 % pemberitaan. Sementara 30 % pemberitaan mengurai dampak sosial dan 16 % dampak ekonomi dari tembakau.
“Dari berbagai ragam pemberitaan soal dampak tembakau, kita bagi dalam tiga besar: dampak kesehatan, sosial dan ekonomi. Di beberapa negara peringatan tentang dampak rokok sudah dibuat sedemikian ekstrem dan vulgar. Misalnya, di kemasan rokok, produsen wajib memberi tulisan peringatan ‘rokok menyebabkan kematian’. Selain itu, dilengkapi gambar rangka tubuh manusia yang terkena dampak tembakau. Tujuannya, memberikan efek jera dan sugesti negatif terhadap perokok maupun calon perokok,” jelas Farid.
Tapi di Indonesia, lanjut Farid, regulasinya belum seekstrem itu. Regulasi peringatan dampak rokok masih longgar. Bisa dilihat dari kemasan rokok yang diperbolehkan untuk dikemas semenarik mungkin dengan labelisasi yang eksplisit. Lebih jauh Farid menjelaskan soal dampak sosial rokok yang semakin luas. Kebiasaan merokok yang ternyata mudah menjalar ke segenap lapisan usia masyarakat. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sejak tahun 2010, tercacat ada 20 kasus anak balita yang kecanduan rokok. Kasus Ilham, bocah asal Sukabumi yang kecanduan rokok sejak umur 4 tahun, adalah bukti paling hangat yang paling banyak diekspos media.
Sisi Dilematis Tembakau
Lebih lanjut, temuan IMMC menunjukkan ada “sisi dilematis” dari fenomena tembakau ini. Di satu sisi, dampak negatifnya sangat besar. Namun di sisi lain, industri tembakau dianggap memiliki dampak positif. Terutama ekonomi. Karena itu, sekitar 52% pemberitaan soal tembakau, mengulas soal manfaat ekonomis dari industri rokok ini. Fokusnya pada kontribusi rokok terhadap pendapatan negara hingga soal banyaknya lapangan kerja yang terserap dari industri rokok.
Dari sisi sosial pemberitaan soal manfaat rokok juga cukup besar, yaitu 40%. “Ini biasanya terkait dengan dimensi sosiologis tembakau. Pengaitan rokok dengan aspek kultural lokal masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa media mengulas dimensi ini,” jelas Farid. Sementara pemberitaan soal manfaat tembakau dari sisi kesehatan, sangat pemberitaannya di media, yaitu 8%.
Menurut Farid, industri rokok memang memiliki sisi dilematis. Tarikan pragmatisme ekonomi acapkali lebih kuat dibanding dengan pertimbangan menyangkut dampak negatifnya terhadap kesehatan dan sosial. Industri rokok sebagai salah satu sumber pendapatan negara, telah menciptakan sebuah perspektif positif terhadap industri ini. Sehingga melahirkan kalangan yang pro dan kontra.
“Jadi, dalam perspektif media, tarik menarik antara dua sisi itu sangat kuat. Temuan IMMC menunjukkan pihak-pihak yang kerap terlibat dalam polemik soal industri rokok di media antara lain: pemerintah, LSM, akademisi, DPR/DPRD, tokoh agama, dan lain-lain. Ini menunjukkan betapa industri rokok telah menjadi sumber polemik yang melibatkan berbagai perspektif. Tidak hanya perspektif ekonomi-bisnis, tapi juga etik-keagamaan. Pemerintah daerah juga sering muncul dalam polemik pemberitaan, karena industri rokok menyangkut pendapatan daerah,” jelas Farid.
Secara umum, Farid menegaskan bahwa dari hasil riset media IMMC, dapat disimpulkan bahwa industri rokok sebagai sebuah content pemberitaan, sangat ‘panas’ dan dinamis. Terutama terkait dengan aspek regulasinya yang masih dianggap sangat longgar. Menurut Farid, berbagai pemberitaan soal industri rokok muncul dengan beragam perspektif. Dan seperti yang berkembang di negara-negara lain, ini merupakan isu yang tidak pernah surut dari sorotan media.