SuaraJakarta.co, Dapat nilai 5? Oh, tidak! Nilai lima pasti menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar siswa. Dengan nilai lima, mereka beranggapan bahwa dunianya sudah berakhir. Tetapi, benarkah begitu? Nilai lima seolah sesuatau yang harus dihindari dan semua orang akan menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai di atas angka tersebut. Mungkinkah saya mendapatkan pekerjaan yang baik kalau nilai saya di bawah 5? Apakah pandangan orang-orang kepada saya jika saya mendapatkan nilai di bawah nilai itu?
Ketika di sekolah, guru sering mengatakan, “Tidak apa-apa mendapat nilai lima, asal kalian mendapatkannya dengan usaha sendiri.” Seharusnya kalimat itu menjadi kalimat pendingin hati siswa dalam belajar. Hanya saja pada faktanya, kalimat itu klise dan membuat siswa menjadi bingung harus bersikap seperti apa. Mungkin saja dalam hati mereka setuju dengan kalimat guru tersebut, tetapi di sisi lain pertanyaan-pertanyaan di atas sering menghantui mereka. Dalam keadaan ini, siswa perlu diinformasikan bahwa pada dasarnya setiap orang tidak harus sempurna dalam semua bidang.
Score oriented! Mungkin itulah frasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan kebanyakan sekolah saat ini. Banyak sekolah menghalalkan segala cara demi meluluskan siwanya dalam Ujian Nasional karena sekolah beranggapan siswa akan mendapatkan pekerjaan atau universitas yang baik jika nilainya di atas rata-rata. Hanya saja pada faktanya hal-hal tersebut menanamkan pada siswa bahwa segala sesuatunya diukur dengan skor. Skor adalah skor, bukan kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan. Skor-skor tersebut pun hanya didapatkan dari ujian menggunakan pensil dan kertas yang mana hanya dilihat sisi kognitif siswa. Tentu hal ini tidak cukup untuk bekal siswa di masa yang akan datang.
Kebiasaan penanaman orientasi nilai inilah yang menyebabkan keresahan dan kegalauan bagi siswa. Terlebih jika hal ini didukung oleh faktor eksternal dari sekolah seperti masyarakat dan kesempatan kerja. Di masa sekarang ini, masyarakat pun masih berorientasi nilai. Hal ini terbaca apabila seorang siswa tidak lulus ujian karena nilainya kurang, siswa tersebut akan dianggap tidak cerdas. Kemudian kesempatan kerja yang ada pun banyak tebuka bagi lulusan sekolah yang nilainya di atas rata-rata. Padahal belum tentu keahlian yang sesuai dengan bidang pekerjaan itu dimiliki oleh siswa tersebut.
Padahal penelitian mengatakan bahwa kecerdasan manusia itu adalah kecerdasan majemuk, bukan kecerdasan yang bisa digeneralisasi oleh nilai-nilai ujian semata. Psikolog Howard Gardner menyatakan bahwa kecerdasan manusia itu dibagi menjadi delapan bagian yang masing-masing memiliki ciri khas sendiri. Siswa sebaiknya memahami konsep ini agar mereka tidak suatu bidang, bukan berarti mereka tidak cerdas, melainkan mereka memiliki kemampuan lain yang sebenarnya bisa dikembangkan.
Bisa dibayangkan jika semua siswa diberikan pemahaman bahwa jika nilai mereka jelek berarti mereka tidak cerdas dan tidak bisa apa-apa. Sungguh disayangkan jika hal ini terjadi. Apa jadinya generasi muda jika siswa hanya memikirkan bagaimana mendapatkan nilai tanpa mempedulikan keahlian yang mereka punya. Bukankah masa depan bangsa ada di tangan pemuda? Apabila hal ini terus terjadi, mental pemuda bangsa ini hanya sebatas materi, bukan keahlian dalam sautu bidang. Hal ini sebenarya bisa saja dikurangi secara perlahan melalui beberapa sudut pandang.
Pertama, sektor industri juga turut mengambil peran dalam pembentukan karakter orientasi nilai ini. Banyak perusahaan atau pabrik mewajibkan nilai matematika di atas 6.00. hal ini memicu siswa untuk mendapatkan nilai kelulusan matematika untuk mendapatkan nilai ini dengan cara apapun. Padahal bekerja di sektor industri memerlukan keahlian yang baik, bukan hanya skor yang tinggi. Kalau saja perusahaan-perusahaan yang ada melihat sisi lain siswa—bukan hanya kemampuan matematisnya—pastinya mereka akan mendapatkan pekerja yang profesional dan siswa akan memiliki cara berpikir yang baru: bukan hanya nilai yang dikejar, tetapi keahlian pun harus dimiliki.
Selanjutnya, score oriented pada siswa bisa memudar kalau saja peraturan kelulusan sekolah bukan dari Ujian Nasional. UN merupakan salah satu hal yang menyebabkan siswa depresi. Siswa akan mengorbankan apapun demi kelulusan UN. Ke mana prestasi belajar yang dikumpulkan selama bertahun-tahun? Seolah hal itu memberikan mindset kepada siswa bahwa proses bukanlah sesuatu yang penting, tetapi nilai—hasil akhir—yang menentukan kelulusan mereka. Kalau saja hal ini bisa direkonstruksi, maka pola pikir siswa mengenai orientasi nilai akan berkurang.
Terakhir, kalau saja pola pikir pendidik di Indonesia diubah, pola pikir siswa pun akan berubah. Dewasa ini, banyak guru yang membuat siswa resah jika tidak mendapatkan nilai bagus dalam ujian. Penanaman ini akan membuat pola pikir siswa menjadi orientasi nilai. Pendidik seyogyanya menanamkan pola pikir yang luas dan membantu siswa mengembangkan kecerdasan masing-masing siswa, bukan malah memaksakan siswa hanya menguasai bidang yang diajarkan. Kalau hal ini dilakukan, siswa bisa merasa nyaman dan tenang ketika mendapat nilai jelek dalam suatu bidang karena mereka sadar memiliki kemampuan di bidang lainnya.
Berdasarkan penjabaran diatas kita bisa melihat bahwa ketakutan siswa karena mendapatkan nilai ‘lima’ ini didasarkan pada keadaan yang dialami oleh mereka di sekolah. Hal ini bisa dikurangi melalui tiga sudut pandang yaitu dari sektor industri, sistem ujian, dan pendidik. Kalau saja tiga hal ini bisa dijalankan dan dikembangkan dengan baik, pola pikir siswa mengenai score oriented bisa dikurangi secara bertahap. [SJ]
Dasrizal | Mahasiswa Sampoerna School of Education