SuaraJakarta.co, Kontroversi. Mungkin itulah fenomena Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Baik RSBI maupun SBI sejatinya adalah saudara sepersusuan. RSBI untuk yang baru lahir menuju remaja, sedangkan SBI untuk yang menjelang dewasa. Entahlah, RSBI maupun SBI sekarang ini menjadi suatu anugerah diantara keruhnya pendidikan di negeri ini atau hanya penjaga gengsi semata. Biarkan massa yang menjadi penonton dari setiap adegan kelabu sistem pendidikan di negeri yang terlalu indah untuk diabaikan ini. Bingung menilai RSBI maupun SBI sebagai tanda bobroknya sistem pendidikan atau suatu resolusi cemerlang untuk menyelesaikan masalah. Mirisnya, semakin banyak sekolah dengan status RSBI maupun SBI yang bermunculan dan tidak tahu siapa yang akan tetap tampil di permukaan.
Pembentukan RSBI maupun SBI mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 50 Ayat 3 yang berbunyi ”Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Nah, dari situlah asal muasal RSBI dan SBI yang merupakan amanah khusus dari Undang-Undang. Mengacu pada kebijakan ini, sesungguhnya pemerintah punya alasan tersendiri. Menurut Sofa (2009), pemerintah mengembangkan SBI dengan tujuan dan harapan, “(a) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (b) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (c) lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olahraga”. Tak lain dan tak bukan untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini. Nyatanya, tanda tanya besar bermunculan di antara orang-orang yang mulai sadar akan kehadiran sosok dua saudara sepersusuan ini dengan sekelumit cerita di atas.
Dalam kenyataannya, program tersebut tidak berjalan semulus seperti yang diharapkan pemerintah. Begitu banyak masalah yang dikaji dan diperdebatkan oleh berbagai pihak. Menurut Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma (2011), “RSBI maupun SBI merupakan suatu kesalahan, mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan, sehingga program SBI dianggap tidak cocok dan harus segera ditinggalkan.” Memang itulah kontroversi yang terjadi di kalangan intelektual. Tentu ada pro kontra mengenai hal ini. Embel-embel bahwa lulusan RSBI maupun SBI akan fasih berbahasa Inggris pun hanya sebuah isapan jempol belaka. Tentunya tidak ada sekolah yang berani menjamin kebenaran dari asumsi tersebut.
Sebagai seorang mahasiswa di salah satu sekolah keguruan swasta, mengharuskan saya untuk terjun langsung ke lingkungan sekolah. Selama delapan hari memasang badan di salah satu sekolah menengah pertama di kawasan Jakarta Barat yang bergelar RSBI, semakin banyak hal yang saya tahu. Saya fokus pada penggunaan Bahasa Inggris di kelas. Bayangan saya, RSBI benar-benar menakjubkan dengan segala kelebihan dan kelihaiannya, contohnya siswa terbiasa berbicara dalam Bahasa Inggris di kelas, sesuai dengan topik riset saya. Ya, mungkin itulah dugaan awal orang awam tentang RSBI maupun SBI. Tahunya hanya bagus, bagus, dan bagus. Tak ada cacat dengan sistem ini. Selidik punya selidik, kenyataan berkata lain. Pengalaman menolak untuk mengakui kebenaran dari keunggulan sistem ini. Mata dan telinga yang bekerja pun mengelak untuk mengiyakan.
Kedatangan saya sebagai seorang mahasiswa yang meneliti suasana kelas untuk melengkapi salah satu tugas kuliah benar-benar membuka pikiran saya. Betapa tidak, saya menyaksikan sendiri bagaimana kelas RSBI berlangsung. Selama delapan hari itu, saya berada dalam suasana belajar Bahasa Inggris, bahasa pengantar resmi setelah bahasa ibu dalam sistem RSBI maupun SBI. Hari pertama, saya hanya sedikit kaget. Masuk kelas, berdiri di belakang dan ikut aktif menilik kanan kiri mencari inspirasi. Ya, hati merasa aneh dengan suasana kelas yang begitu gersang. Tak ada satu pun dari siswa di kelas berbicara dalam Bahasa Inggris padahal dalam pelajaran Bahasa Inggris. Begitu juga dengan si guru yang mengajar Bahasa Inggris. Hal inipun berlangsung berhari-hari. Akhirnya, saya masuk ke kelas reguler dan mencoba sedikit membandingkan antara kelas reguler dan RSBI.
Tak jauh beda, guru hanya memberikan tugas saja dan duduk manis menanti hasil kerja siswanya tanpa mengetahui bagaimana siswanya bekerja. Hampir sama, suasana kelas juga gersang. Akan tetapi, ada hal lain yang membuat saya tertarik pada kelas reguler ini. Ada seorang siswa yang baru saja pindah dari Kanada dan dialah yang mengajak teman-temannya untuk berani bicara dalam Bahasa Inggris.
Hari terus berlalu, otak dan naluri saya terheran-heran apa yang menyebabkan sekolah ini dinyatakan RSBI. Apa dasar penilaian dari sistem ini yang sesungguhnya. Hingga pada hari ketujuh, salah seorang guru mengambil nilai kemampuan bicara Bahasa Inggris di kelas. Siswa diminta maju ke kelas satu per satu dan bercerita. Sungguh pusing tingkat wahid saat menyaksikan adegan pembunuhan tanpa berdarah ini. Tak ada satu pun dari siswa RSBI tersebut yang “hanya sedikit fasih” bicara Bahasa Inggris. Hancur benar susunan grammar dan strukturnya. Bercerita terbata-bata dan langsung menggunakan bahasa ibu saat bingung untuk mentransfer kata-kata Indonesia dalam susunan indah Bahasa Inggris. Lalu, saya berinisiatif untuk meminta izin melihat hasil nilai-nilai ulangan. Luar biasa ajaib! Menulis tak pernah, bicara amat hancur, namun nilainya sungguh luar biasa. Nilai sembilan puluh berkeliaran bebas sesuka hati.
Nilai delapan puluh terintimidasi dengan nilai sembilan puluh. Lantas, apa dasar penilaian tersebut? Alangkah heran bukan kepalang dengan fenomena ajaib ini. Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang saya lakukan kepada beberapa guru Bahasa Inggris dan para siswa. Para guru membenarkan bahwa siswa memang berada pada level kritis terhadap kemampuan berbahasa asing mereka. Lebih miris lagi, kesimpulan yang saya ambil dari wawancara kepada para siswa, mereka mengaku lebih nyaman dengan Bahasa Indonesia saja. Ini dikarenakan mereka tidak mengerti arti dan sasaran kalimat jika menggunakan Bahasa Inggris.
Sedih dan kecewa dengan kenyataan di lapangan tentang sistem ini. Merenung mungkin sudah terlambat. Mirisnya, bagaimana tiga butir tujuan dan harapan Pemerintah yang telah dipaparkan pada paragraf awal tentang sistem ini terwujud, jika keadaan tak bisa diberi amanat. Benar-benar percuma tiada hasil jika keadaan mendukung kontroversi berlanjut tanpa ujung ini. Pemerintah secara lugas telah dibuat malu dengan kebijakannya sendiri. Dengan ini, apa fungsinya ada RSBI maupun SBI jika tak ada perubahan baik dalam sistem pendidikan di negeri ini. Terlebih pada kemampuan penggunaan bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris, yang saya soroti dalam hal ini. Lalu, untuk apa kebijakan seperti ini dipertahankan jika hanya menambah buruk keadaan? Bukankah yang terpenting adalah penyampaian materi dan kurikulumnya, bukan status sekolahnya? Embel-embel bertaraf internasional diabaikan dan diganti dengan berwawasan interpersonal, yaitu kebutuhan untuk dipuji, untuk gengsi saja. Tak ingat lagi pada komitmen awal atas sistem ini. Menyedihkan, ambigu, namun nyata. Tak ingin membahas, namun kenyataan dan bukti telah tersedia begitu rapi di atas meja ketidakwarasan. Dengan sekelumit rentetan kalimat tersebut, kesimpulannya begitu sederhana, RSBI maupun SBI hanya sebagai gengsi semata, untuk kepuasan sesaat saja. Sungguh duka nestapa untuk Negeriku Indonesia. [SJ/foto : Ilustrasi dari Editorial MetroTV]
Ambar Nurul Ansari | Mahasiswa Sampoerna School of Education