Politisi PDIP: Perppu Ormas Bisa Direvisi Setelah Diundangkan

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Politisi PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat menjelaskan meskipun Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) telah disahkan menjadi undang-undang, namun masih terbuka untuk dilakukan revisi terhadapnya.

“Karena pemerintah secara tegas mengatakan bahwa terbuka untuk melakukan revisi terhadap Perppu itu kalau sudah di sahkan menjadi Undang-Undang,” ujar Henry di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).

Diketahui, disahkannya Perppu Ormas menjadi UU tersebut menuai polemik, khususnya sejak Pembahasan di Tingkat I di Komisi II.

Sepuluh fraksi itu terbelah menjadi tiga sikap, yaitu Menolak (F-PAN, F-Gerindra, dan F-PKS), Menerima dengan Catatan (F-Demokrat, F-PPP, dan F-PKB), dan Menerima (F-PDIP, F-Golkar, F-Hanura, dan F-Nasdem).

Meskipun demikian, Henry berdalih penolakan tiga fraksi tersebut merupakan sesuatu yang bersifat tidak terlalu prinsip, antara lain misalnya masalah pemidanaan di Pasal 82 ayat 2 Perppu Nomor 2 Tahun 2017.
 
“Hal itu bisa diuji lagi di Pengadilan kalau ada Ormas yang dibubarkan dengan surat keputusan Menkumham atau dicabut izinnya oleh Mendagri dan merupakan obyek dari PTUN, oleh karenanya bisa saja di PTUN kan. Tidak ada masalah sebetulnya,” ucapnya.
 
Henry tidak sepakat apabila dikatakan Perppu Nomor 2 tahun 2017 itu cacat hukum. Henry mengatakan, Perppu Ormas tersebut dikeluarkan atas Hak Subyektif Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan tujuannya adalah dalam rangka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air.
 
“Presiden melihat ada suatu kegentingan yang memaksa atau suatu kondisi yang darurat. Yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa adalah sudah nampak ada ormas yang secara terang-terangan menyatakan akan merubah Dasar Negara Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta akan menjadikan Republik ini menjadi negara Khilafah,” jelasnya.
 
Ditambah lagi ada Ormas-Ormas lain yang secara nyata dan terang-terangan melakukan ucapan dan perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ruh Pancasila. Misalnya memecah belah persatuan, menghina agama lain, mengajak atau provokasi permusuhan,lanjutnya.
 
“Kondisi ini sangat beralasan kalau dipandang oleh Presiden sebagai suatu ancaman kegentingan yang memaksa atau suatu keadaan yang darurat, dimana Undang-Undang Ormas yang ada tidak memadai untuk mengatasi kondisi darurat ini,” pungkasnya.

Dinamika politik terjadi sejak adanya Keputusan Pembicaraan Tingkat I di Komisi II DPR RI yang terkait dengan masalah Perppu Ormas. Dimana terdapat 7 Fraksi yang setuju dan 3 Fraksi yang menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut.
 
Saat ditemui sebelum berlangsungnya Rapat Paripurna DPR RI, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat berharap ketiga Fraksi yang menolak itu dapat berubah pandangannya.
 
“Karena pemerintah secara tegas mengatakan bahwa terbuka untuk melakukan revisi terhadap Perppu itu kalau sudah di sahkan menjadi Undang-Undang,” ujar Henry di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).
 
Menurutnya, hal-hal yang memicu adanya penolakan terhadap Perppu Ormas itu oleh beberapa rekannya dari Fraksi lain di Komisi II, merupakan sesuatu yang bersifat tidak terlalu prinsip, antara lain misalnya masalah pemidanaan di Pasal 82 ayat 2 Perppu Nomor 2 Tahun 2017.
 
“Hal itu bisa diuji lagi di Pengadilan kalau ada Ormas yang dibubarkan dengan surat keputusan Menkumham atau dicabut izinnya oleh Mendagri dan merupakan obyek dari PTUN, oleh karenanya bisa saja di PTUN kan. Tidak ada masalah sebetulnya,” ucapnya.
 
Henry tidak sepakat apabila dikatakan Perppu Nomor 2 tahun 2017 itu cacat hukum. Henry mengatakan, Perppu Ormas tersebut dikeluarkan atas Hak Subyektif Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan tujuannya adalah dalam rangka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air.
 
“Presiden melihat ada suatu kegentingan yang memaksa atau suatu kondisi yang darurat. Yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa adalah sudah nampak ada ormas yang secara terang-terangan menyatakan akan merubah Dasar Negara Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta akan menjadikan Republik ini menjadi negara Khilafah,” jelasnya.
 
Ditambah lagi ada Ormas-Ormas lain yang secara nyata dan terang-terangan melakukan ucapan dan perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ruh Pancasila. Misalnya memecah belah persatuan, menghina agama lain, mengajak atau provokasi permusuhan,lanjutnya.
 
“Kondisi ini sangat beralasan kalau dipandang oleh Presiden sebagai suatu ancaman kegentingan yang memaksa atau suatu keadaan yang darurat, dimana Undang-Undang Ormas yang ada tidak memadai untuk mengatasi kondisi darurat ini,” pungkasnya. (RDB)

Related Articles

Latest Articles