Cara Faisal Basri Atasi Macet Jakarta

Transportasi publik nyaman, bukan musuh industri otomotif.

Jakarta – Ada yang membuat Faisal Basri risau. “Saya merasa Jakarta hanya milik orang kaya,” ujarnya. Maka, ekonom itu pun memilih maju dalam Pilkada DKI 2012. Dia ingin merombak banyak hal, terutama menjadikan Jakarta kota milik semua warga. Untuk itu, kebijakan transportasi publik sangat penting, ujarnya seperti dilansir Vivanews.

Saat ini, angkutan rakyat di Jakarta, kata Faisal, cukup menyedihkan. Warga pinggiran terpaksa memakainya. Mereka tak punya pilihan.

Itu sebabnya, Faisal bertekad maju. Dia tak menempuh jalan partai politik, melainkan bertarung dari jalur perseorangan. Pendiri Partai Amanat Nasional ini menggandeng tokoh muda Betawi Biem Benjamin. Mereka bertemu, saat Faisal yang berniat maju itu, mencari calon pasangannya. Setelah lihat kiri dan kanan, bahkan menjaring lewat website, Faisal belum ketemu pasangan yang tepat.

Suatu kali dia diundang oleh Bens Radio, radio yang tersohor di warga Betawi. Di sana Faisal bertemu Biem Benjamin. Biem pernah menjadi anggota DPD periode 2004-2009. “Saat itu saya bilang, Bang kayaknya kita cocok nih,” ujar Faisal. Lalu mereka pun berjabat tangan. Itu terjadi Agustus tahun lalu.

Tentu bukan tanpa hitungan Faisal melamar Biem. Sebagai putra Betawi, Biem punya jaringan luas di komunitas Betawi. Dia anak komedian top, kebanggan Betawi: Benyamin Sueb. “Setelah dihitung-hitung, Biem akan memperkuat. Dia punya track record independen, dan konsisten,” ujar Faisal.

Melaju dari jalur independen, kata Faisal lebih enteng. Setidaknya dia tak terikat beban politik partai. Tidak perlu ada transaksi politik. Apalagi dalam Pilkada 2012 kali ini, calon perseorangan boleh maju, asal punya dukungan sedikitnya 4 persen dari 10 juta penduduk Jakarta.

Berdasarkan penghitungan KPU Provinsi DKI Jakarta, jumlah dukungan Faisal Basri-Biem Benjamin ada 455.097 orang.  “Banyak orang simpati, datang ke kita,” kata Faisal saat berbincang dengan VIVAnews, 29 Maret 2012.

Tak punya pilihan

Populasi kendaraan pribadi dan minimnya transportasi publik, kata Faisal, menimbulkan kemacetan luar biasa. Ruginya besar. Tiap tahun, Rp1,7 triliun duit hilang karena macet. Lantas apa solusinya?

Menurut Faisal, perlu ada optimalisasi fasilitas transportasi umum. Penyediaan dan pelayanan transportasi umum yang baik, dan operasi kendaraan umum dibuat saling mendukung. Sampai saat ini dia menilai, tak ada sistem angkutan umum yang baik.

Pelayanan Busway wajib ditingkatkan.  Dia menghitung butuh sekitar 1000 bus, agar bus siap mengangkut tiap 5 menit. Warga tak perlu buang waktu percuma hanya karena menunggu bus. Ada 600 bus Transjakarta sekarang yang beroperasi, dan  itu masih sangat kurang.

“Kalau saya sediakan 1000 bus efeknya untuk Jakarta akan luar biasa. Kalau harga busnya Rp800 juta kan baru Rp800 miliar. Flyover Antasari saja dananya mencapai Rp1,2 triliun. Masa bus nggak bisa? Apalagi kalau tendernya benar, pasti lebih murah lagi,” ujarnya.

Target jangka menengah adalah optimalisasi kereta api. Pasangan ini akan menambah jalur kereta lingkar luar Jakarta. Fungsinya, memudahkan masyarakat di perbatasan kota Jakarta melaju ke kota. Selama ini, mereka harus memakai kendaraan pribadi menuju Ibukota.

Jakarta, sebenarnya sudah ada jalur kereta lingkar luar peninggalan Belanda. Untuk menyempurnakannya hanya tinggal ditambah sekitar 15 kilometer.  Dijelaskannya, saat ini dari arah selatan, masuknya melalui Pasar Minggu, dari barat lewat Tanah Abang, Tanjung Priok, Timur Jatinegara. “Yang tidak ada utara, karena laut. Jadi kalau kita link, itu sudah terkoneksi, itu yang jadi tulang punggungnya”.

Yang harus dilakukan saat ini adalah membenahi stasiun kereta api. Ini dapat dilakukan dengan upaya kerjasama antara Pemda DKI dengan PT Kereta Api Indonesia PT KAI.

Dia pun mengkritik rencana Pemprov DKI yang lebih mendahulukan proyek pembangunan MRT atau subway dibanding memaksimalkan sarana yang ada seperti kereta api. Sebab, Subway yang akan dibangun, tidak ada link dengan kereta api lingkar luar.

Mantan Rektor Perguruan Tinggi Perbanas ini menuturkan, pembangunan MRT seharusnya dilakukan setelah sarana transportasi pendukungnya sudah tersedia. Dengan begitu, koneksi antara moda transportasi satu dengan lainnya dapat terintegrasi.

Menurutnya, ada banyak kekurangan perencanaan MRT. Salah satu paling fatal menurut dia adalah pada pemilihan rute MRT, yang direncanakan melalui Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, Sisingamangaraja, Senayan, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas dan Bunderan HI.

“Lihat warga Pondok Indah dan sekitarnya, ada busway, jalan tol, sebentar lagi ada MRT, ada flyover, numpuk di satu tempat, sedangkan di tempat lain tidak ada satupun,” kata dia.

Faisal pun mempertanyakan kenapa jalur MRT tidak dibuat di kawasan Panglima Polim dan Sudirman. Padahal menurut dia, kawasan itu paling pas dan memiliki permintaan tinggi dibanding kawasan Fatmawati.

Macet, kata Faisal, bukan cerita khas Jakarta. Kota-kota besar lainnya di dunia juga serupa. Bedanya, kota lain menyiapkan sistem transportasi publik yang apik. Para pemilik kendaraan pribadi pun beralih ke angkutan umum.  “Kalau sudah tersedia, maka baru ada urusan pembatasan, ERP (electronic road pricing). Sudah dikasih transportasi publik nyaman, tak mau pindah juga ke angkutan umum, ya kendaraan pribadi harus diberi pajak tinggi,” ujarnya.

Memberantas kemacetan tak bisa dengan kebijakan yang hanya membuat para pengguna kendaraan pribadi menjadi manja. Tapi kebijakan itu harus memperlancar kendaraan umum.

Masyarakat kelas menengah ke atas, kata Faisal, tidak peduli pada kemacetan. Sebab mereka punya banyak solusi menghindari macet. “Kalau orang kaya terjebak macet bisa sewa helikopter. Kelas menengah kejebak macet, keluar mobil bisa naik ojek, masalah selesai,” ujarnya. Tapi kalau orang kecil, kata Faisal, tak punya pilihan. Mereka rela menanti kereta mogok sampai menyala lagi. [Vivanews/Aries Setiawan]

Related Articles

Latest Articles