SuaraJakarta.co, JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Muzakir, menegaskan dirinya tidak setuju dengan istilah Kebhinnekaan. Oleh karena, jika hanya menggunakan istilah Bhinneka saja, maka akan terkait dengan istilah Pluralisme yang tidak lahir dari konteks filsafat Indonesia.
“Saya tidak setuju dengan Kebhinnekaan, saya menentang kata-kata pluralisme. Karena Pluralisme tidak dalam konteks filsafat Sosial Indonesia. Filsafat Negara Indonesia. Karena Pluralisme itu sama dengan Kebhinekaan titik. Pluralisme titik,” jelas Muzakir saat memberikan materi dalam Sekolah Konstitusi Fraksi PKS MPR RI di Gedung Nusantara V, Rabu (1/2).
Seharusnya, tegas Muzakir, makna Kebhinnekaan itu harus dirangkai utuh dalam terminologi Bhinneka Tunggal Ika.
“Tapi, harus ada Kebhinnekaan tunggal Ika. Kalau dilepaskan terminologi itu (Ika), seperti sekarang kejadiannya. Jadi, harus dilihat dalam konteks terminologi utuh,” jelas Muzakir
“Yang penting menyatukannya itu. Ika-nya itu,”
Di sisi lain, tambah Muzakir, untuk menguatkan makna Bhinneka Tunggal Ika itu, maka dalam Revisi UU KUHP di Pasal 2 memiliki muatan terhadap pengakuan hukum yang tidak tertulis. Pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis itu adalah bentuk dari ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam hukum.
“Oleh sebab itu dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dalam Revisi UU KUHP, Pasal 2 adalah pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis. Kita mengakui adanya kebhinnekaan tunggal ika an dalam hukum, hukumnya apa hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat kita (the living law). Sehingga, dengan demikian Pasal 2 itu penting, jika hanya Pasal 1 saja, bangsa ini akan tunduk pada hukum yang tertulis saja,” tambahnya.
Oleh karena itu, Fatwa MUI itu, tegas Muzakir, adalah hukum positif yang tidak tertulis.
“Kalau itu misalnya Fatwa Ulama tidak termasuk bagian hukum tertulis, itu konsep yang harus dibangun lebih dahulu adalah bahwa hukum positif terdiri dari norma hukum tertulis dan norma hukum tidak tertulis. Kalau hukum Islam diakui sebagai hukum yang tidak tertulis, maka Fatwa MUI otomatis menjadi penegasan bahwa norma hukum yang tidak tertulis,” tambah Muzakir. (RDB)