Presiden Bermental Mandor


Oleh: Pangi Syarwi Chaniago*

Muncul kesan kuat di antara para demonstran aksi damai 411 bahwa presiden tidak berani bertemu dengan rakyatnya sendiri. Terkesan di benak rakyat, presiden menghindar dan menjauh dari rakyatnya (demos).

Rakyat dengan pemimpin itu ibarat air dengan ikan, ngak boleh ada jarak. Ada beberapa kesalahan presiden Jokowi dan ini sangat disayangkan.

Pertama, presiden gagal berdiri di atas semua kepentingan kelompok dan golongan. Apakah Presiden tidak lagi menganggap suara ratusan ribu aksi damai 411, apakah itu bukan rakyatnya sehingga elergi menemui rakyatnya?

Kita masih ingat dengan istilah, vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). 10 orang saja yang menghadap menyampaikan aspirasi dan kehendaknya, tetap Soekarno menemui rakyatnya, apalagi ini ratusan ribu rakyatnya yang ingin bertemu presiden.

Ketika presiden turun bertemu dan menghadap para demonstrasi yang melakukan tuntutan, bukan berarti presiden otomatis adalah merepresentasikan suara kelompok atau golongan tersebut atau setuju dengan kehendak kelompok tersebut, bukan begitu analogi berfikirnya?

Soal nanti disetujui atau tidak, soal diadili atau tidak, itu soal lain, biar penegak hukum yang mengadili, bola ada di penegak hukum, memang benar presiden tak boleh intervensi penegakan hukum.

Yang maha penting itu, kehadiran presiden di tengah masyarakat, menemui aksi demontrasi tersebut. Ini soal bagaimana fatsun politik tuan raja menemui dan memperlakukan warganya.

Kedua, kalau saya mencermati secara mendalam, presiden tidak memahami skala prioritas, di saat rakyat mengunjungi Istana dan ingin ketemu, presiden malah memilih mengunjungi (blusukan) proyek pembangunan kreta api Bandara Soekarno Hatta.

Presiden lebih menganggap kunjungan proyek kreta Soekarno Hatta, jauh lebih penting ketimbang bertemu rakyatnya. Sangat disesalkan dan presiden tidak menjadi tuan rumah yang baik, justru mewakilkan kunjungan jutaan rakyatnya ke Istana kepada sang wakil presiden, Menkopolhukam dan menteri Agama. Ini jelas terkesan melecehkan dan merendahkan wibawa presiden itu sendiri.

Kunjungan ke proyek kreta Bandara Soekarno- Hatta itu kan bisa diwakilkan sama menteri Pekerjaan Umum (PU) atau Menteri Perhubungan, lagi pula itu teknis dan bisa dikerjakan mandor dan tak mutlak harus presiden yang turun tangan, muncul kesan di mata rakyat, presiden bermental mandor, saya kira sikap dan cara berfikir presiden kurang bijak.

Ketiga, presiden diduga melanggar sumpah jabatan dan janji konstitusi yang pernah diucapkan dulu, presiden gagal berdiri secara adil di atas semua kelompok dan golongan.

Kita masih ingat sumpah presiden, “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”. Itu artinya seorang pemimpin wajib ‘adil’ , melindungi minoritas dan menghormati kelompok mayoritas.

Ketika presiden sudah merasa paling kuat dan paling hebat, maka di saat itulah titik kelemahannya. Belajar dari sejarah, Soeharto yang sudah 32 tahun berkuasa, latar belakang dari jenderal, punya loyalis siap mati, inteligen dan militernya kuat, kecolongan dan pada akhirnya tumbang juga karena mulai menjauh dan mengabaikan suara dan kehendak rakyat.

Presiden Jokowi sudah mempertontonkan pentas degalan kualitas kepemimpinannya kepada khalayak, gagal dalam mengurai silang sengkarut persoalan mendasar yang dihadapi rakyat. Kepemimpinan yang mengabaikan keresahan umat mayoritas. Saya ingin memberi makna dan konteks soal kepemimpinan, “pemimpin itu mutlak dicintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya.

Penulis: Direktur Eksekutif Voxpol Center

Related Articles

Latest Articles