Analisis Yuridis Izin Presiden Dalam Proses Hukum Terhadap Ahok Sang Penista Agama

*Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.

Proses hukum terhadap petahana oleh Bareskrim “semakin jelas ketidakjelasannya”! Di sisi lain dukungan masyarakat demikian kuat agar Bareskrim segera melakukan langkah-langkah hukum terkait penistaan agama dan penghinaan terhadap ulama yang dilakukan oleh petahana. Berbagai spekulasi mulai bermunculan terkait dengan pengajuan izin kepada Presiden dimaksud.

Menjadi menarik untuk dilakukan kajian yuridis tentang ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dengan adanya frasa tindakan “penyidikan” yang dilanjutkan dengan “penahanan”. Bunyi lengkap Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut, ”Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali Kota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri.” Penjelasan Pasal 90 tidak memberikan penjelasan alias “cukup jelas”. Persoalannya, kita tidak mengetahui apakah maksud permintan Bareskrim kepada Presiden, apakah hanya untuk melakukan penyidikan atau hendak melakukan penyidikan dan kemudian dilakukan penahanan.

Dilihat dari kontruksinya Pasal 90 ayat (1) ini mengandung implikasi praktis dalam proses penerapan hukum acara oleh Bareskrim. Pada prinsipnya tindakan penyidikan dan tindakan penahanan adalah dua bentuk tindakan yang berbeda, namun dengan adanya kata “dilanjutkan” diantara kata “penyidikan” dan “penahanan” telah menimbulkan pertanyaan yang cukup krusial. Pertama, apakah untuk memulai penyidikan harus memerlukan persetujuan tertulis Presiden terlebih dahulu atau tidak. Kedua, apakah persetujuan tersebut diperlukan hanya dalam rangka tindakan penahanan saja.

Diihat dari penafsiran secara gramatikal, kata-kata “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” jelas menunjukkan bahwa penahanan membutuhkan tindakan pendahuluan berupa penyidikan dan ditetapkannya sebagai “tersangka”, namun penyidikan yang mengarah kepada penahanan membutuhkan adanya izin Presiden. Hal ini dapat diketahui dengan kata penghubung “dilanjutkan”, sekiranya tidak ada kata “dilanjutkan”, maka pemaknaannya tentu akan menjadi lain.

Ditinjau dari penafsiran sistematis, dapat dilihat dengan Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, jika terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah hendak dilakukan penyelidikan dan penyidikan, maka hal itu wajib dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Selanjutnya, jika telah dilakukan penyelidikan/penyidikan dan penyidik memandang perlu dilakukan penahanan, maka untuk dilakukannya penahanan itu harus dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Kontruksi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menunjukkan adanya permintaan persetujuan dari Presiden terhadap dua bentuk tindakan yang berbeda, yakni pada saat akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan, dan pada saat akan dilakukan penahanan. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak menggunakan frasa “tindakan penyelidikan dan penyidikan” tetapi menyebut “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan”.

Ditinjau dari penafsiran secara teologikal menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, terhadap “penyelidikan dan penyidikan” tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Lebih lanjut, perlu juga diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dibuat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah atau pejabat mana pun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan Warga Negara secara berbeda di hadapan hukum. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para Kepala Daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara aquo, antara lain menyatakan bahwa Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik “ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Melalui penalaran logis (konstruksi) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) yang menyebutkan “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” harus ditafsirkan bahwa persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, sedangkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur – yang belum berupa penahanan-, maka tidak memerlukan adanya persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Presiden.

Lebih jauh, prosedur khusus berupa “izin pemeriksaan” tidak sesuai atau bertentangan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (constante justitie), asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas independensi kekuasaan Kehakiman dalam arti luas di mana di dalamnya juga tercakup penyelidik, penyidik dan penuntut umum. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengadopsi prinsip-prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,

Terakhir, nalar hukum (legal ratio) terhadap tindakan penahanan tidaklah menghambat pelaksanaan tugas sehari-hari dari Gubernur/Wakil Gubernur yang merupakan pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah, mengingat sang petahana sebentar lagi akan cuti (28 Oktober 2016 s.d. 12 Februari 2017), sehingga jika dilakukan penahanan tidaklah mengganggu roda pemerintahan Pemprov DKI Jakarta. Jadi, apa lagi yang mesti ditunggu?

*Penulis: Doktor Hukum Ketahanan Nasional pertama di Indonesia (UNS-Surakarta), Konsultan Hukum, CEO Lisan Hal & Pengurus Komisi Hukum MUI Pusat.

Related Articles

Latest Articles