SuaraJakarta.co, JAKARTA – Para pengacara muda yang tergabung dalam Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Jakarta akan ikut mengawasi Pilkada Jakarta untuk memastikan penyelenggaraannya berlangsung demokratis, jujur, adil, dan terhindari dari praktik-praktik politik uang. Untuk mengoptimalkan pengawasan tersebut, HAMI Jakarta akan membuka lima posko pengaduan kecurangan Pilkada terutama politik uang di lima titik wilayah yang ada di Jakarta.
“Politik uang itu jadi racun dalam setiap penyelenggaraan pilkada. Butuh ikhtiar dan kerja keras untuk meretasnya. Pilkada Jakarta yang menjadi sorotan luas ini, kami harap menjadi momentum bagi kita semua untuk menghilangkan praktik-praktik culas politik uang yang merusak nilai-nilai demokrasi. Kami ingin ambil bagian menciptakan itu dengan ikut mengawasi penyelenggaraan Pilkada Jakarta,” ujar Ketua DPD HAMI DKI Jakarta Aldwin Rahadian, di Jakarta (28/9).
Aldwin mengungkapkan, sejak Pilkada digelar pertama kali di Indonesia pada 2005, ada semacam siklus di mana cukup banyak kepala daerah terpilih harus berurusan dengan penegak hukum (KPK, Kepolisian, Kejaksaan) karena menyalahgunakan wewenang penggunaan anggaran dan aset daerah, penyalahgunaan wewenang terkait perizinan, menerima suap, dan paktik-praktik korup lainnya. Hingga 2015 saja tercatat 343 orang kepala daerah tersangkut masalah hukum terkait korupsi baik di kejaksaan, polisi, dan KPK. Di KPK sendiri sudah 56 kepala daerah yang terjaring dan kemungkinan besar bisa terus bertambah.
Diduga kuat, lanjut Aldwin, maraknya praktik korupsi ini dilakukan para kepala daerah untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya saat pencalonan dan kampanye. Sudah menjadi rahasia umum seorang calon kepala harus memiliki dana yang sangat besar untuk dapat bertarung di arena pilkada.
Menurut Aldwin, dalam proses pengumpulan dana inilah, biasanya banyak datang tawaran bantuan dari broker suara dan para pengusaha hitam. Kemudian terjadi tawar menawar di mana penyumbang dijanjikan kompensasi, bisa dengan proyek, jabatan, atau berbagai kemudahan saat nanti calon terpilih. Calon yang ‘pendek akalnya’ dengan tangan terbuka akan menerima berbagai bantuan ini.
Akhirnya selama memimpin, tambah Aldwin, yang dipikirkan kepala daerah adalah bagaimana ‘membalas budi’ para penyumbang dan memutar otak untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya saat kampanye. Rakyat tidak lagi jadi prioritas. Mengharap gaji sebagai kepala daerah tidak mungkin, makanya pilihannya melakukan korupsi.
“Namun, kita masih punya harapan karena masih banyak calon-calon kepala daerah di Indonesia yang memegang teguh integritasnya. Calon-calon seperti inilah yang kita harapkan mewarnai Pilkada Jakarta kali ini. Kita berharap Pilkada Jakarta zero money politic agar jadi contoh bagi daerah lain, dan kami berikhtiar untuk ikut mewujudkannya dengan ikut mengawasi jalannya Pilkada Jakarta,” pungkas Aldwin.