Ada banyak cara untuk menghabiskan uang. Ada jutaan tempat untuk membelanjakan uang. Ada berbagai kegiatan untuk mencari hiburan. Ada puluhan mall yang bisa dikunjungi untuk membuat bahagia diri. Tapi wanita ini memilih menghabiskan rupiah, mencari hiburan dan membuat dirinya bahagia dengan memberi makan kucing
Ia memang penyayang kucing, dan ada satu ekor di rumahnya ia pelihara. Ia beri makan, minum, juga ia mandikan. Tapi ada puluhan lain di luar rumahnya yang bukan peliharaannya, yang setiap pagi dan malam tak pernah absen diberinya makan.
“Tiap hari saya beli dua ekor ikan tongkol, dua ekor 60 ribu. Saya campur dengan nasi, lalu bagikan ke kucing-kucing itu”, dengan mata berbinar ia bercerita.
“Pagi-pagi habis subuh, kucing-kucing itu udah mengeong-ngeong di samping kamar kontrakan saya, lapar, minta makan. Ada sekitar 15 kucing saya kasih makan kalau pagi gitu. Jadi subuh-subuh itu tongkol saya campur sama nasi, terus saya bagi-bagikan ke mereka,” lanjutnya bercerita.
Dalam sehari, ia memasak satu setengah liter beras, dan dua ekor ikan tongkol ukuran sedang. Semua itu untuk memberi makan kucing liar yang ada di sekitar rumahnya, sehari dua kali. Larut malam sepulang kerja, ia juga memberi makan belasan kucing di gang lain, berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya.
“Masak nasi semua untuk kucing Bu, saya sama suami malah makan di warteg”, katanya.
Selain ikan tongkol, ia kadang membeli sekilo kepala ayam. Kepala ayam itu ia masak dengan sedikit bumbu. Dan tentu saja, ia berikan untuk makanan kucing-kucing.
“Kadang-kadang suami saya beli kepala ayam yang udah mateng dari tukang jualan pecel ayam, buat tambahan gizi kucing-kucing itu”, dan ia masih sempat memikirkan gizi kucing.
“Seneng aja Bu. Untuk hiburan,” itulah alasan ia bersedekah untuk kucing setiap hari. Di usianya yang telah masuk 50 tahun, sementara suaminya hanya lebih tua dua tahun darinya, ia belum dikaruniai anak. Dan kucing-kucing itu seolah menggantikan anak-anak yang belum pernah dia miliki.
Rupiah bukanlah soal, padahal ia ‘hanya’ pegawai sebuah kantin. Sementara suaminya pun sekedar buruh di sebuah toko bahan bangunan, yang setiap hari bekerja memotongi dan mengangkut asbes pesanan pembeli. Mereka berdua mengontrak sepetak kama, bukan rumah sendiri.
“Kasian kan Bu itu kucing-kucing kalau mesti cari makan dengan ngorek-ngorek sampah?”, imbuhnya menguatkan hati.
Rupiah juga memang bukan soal, jika yang didapat dengan membelanjakannya adalah rasa terhibur. Dan juga dibelanjakan untuk mengobati perut-perut lapar makhluk kecil lucu, terlantar, dan kelaparan.
Bukankah pada jaman dahulu ada seorang wanita pezina yang masuk surga karena sedekahnya pada binatang? Ia iba melihat seekor anjing lemas, terkulai kehausan. Lalu ia cari air, ditimbanya air dari salam sumur, lalu dengan iba disuapkannya air pada anjing malang itu. Anjing pun sirna dahaganya, selamat pula wanita itu dari siksa neraka.
Penulis: Sari Kusuma