Nenek Di Teras Masjid Itu Seorang Pelaku Sejarah

Salemba, sekitar tahun 1999, negeri ini baru terlepas dari rezim Orde Baru. Sebuah fase berikut dari negeri ini baru saja dimulai: Era Reformasi. Rezim lama memang telah lengser, namun rupanya tak begitu saja negeri ini bisa melenggang santai menjalin hidup baru. Tahun 1998 Soeharto melepaskan jabatan. Tahun itu pula MPR pun didesak melaksanakan Sidang Istimewa. Selanjutnya, berbagai catatan baru sejarah Indonesia terjadi: pemilu multipartai, pemerintahan baru, dan seterusnya. Dan di sana, selalu ada mahasiswa mengawal, dengan aksi demonstrasinya, sehingga memberikan mereka jabatan baru: Parlemen jalanan.

Dan Salemba adalah salah satu basis parlemen jalanan itu. Di satu sore, belasan tahun yang lalu, selepas mengikuti salah satu aksi demonstrasi mahasiswa, sebagian mahasiswi berjaket kuning kembali ke kampusnya. Waktu sudah lepas Ashar, di teriknya Jumat itu, biasanya mereka sudah bebas dari jadwal kuliah, praktikum, atau ujian, atau kegiatan akademik lain. Mereka memang mahasiswa tahun-tahun awal, yang belum ada kewajiban untuk stase malam di rumah sakit. Namun selalu ada alasan bagi mereka untuk kembali ke kampusnya, melepas lelah di ruang sholat khusus wanita, di masjid kampus yang dinamai dengan nama seorang mahasiswa yang wafat pada masa aksi mahasiswa sekitar tahun 1966 itu. Iya, inilah masjid ARH UI, disingkat dari Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia.

“Bu, teh botolnya ya, dingin”, pesan seorang mahasiswi berjilbab, sambil melepas jaket kuningnya, melipat, lalu memasukkannya ke dalam tas, kemudian duduk rapi bersama rekannya yang lain di teras bertangga itu. Teras tempat sholat wanita itu memang sering menjadi tempat mahasiswi menikmati makan siang, yang dipesan dari para PKL yang mangkal di trotoar depan kampus UI di Salemba 4. Harga memang kaki lima, tapi rasa nyaris bagai bintang lima. Cocok untuk kantong mahasiswa, yang sebagian besar perantau itu. Jenis makanannya juga cukup lengkap, ada mie ayam, gado-gado dengan nasi atau lontong, soto ayam, somay, sate ayam pun ada. Dan semua melayani delivery order ke teras masjid itu, sementara minuman tinggal pesan ke Ibu penjual teh botol yang menggelar dagangan di teras tempat sholat wanita itu.

Seorang mahasiswi lain lagi telah tiba lebih dahulu, ia adalah yang paling sering datang ke masjid, selain untuk sholat, juga untuk berbagai rapat kegiatan kampus. Bagi Ibu penjual teh botol, mahasiswi itu wajahnya lebih familiar. Teh botolnya telah lebih dahulu habis, dan kini tinggal mengembalikan botol kosong, dan membayar tagihannya,”Ini uang tehnya ya Bu Zaenab, tadi makan mie ayam udah saya bayar ke abangnya langsung”, katanya sambil menyodorkan dua lembar ribuan. Waktu itu satu teh botol harganya 1500 rupiah.

Namun uang itu ditolak mentah-mentah, “Sudah Neng, tehnya ga usah bayar. Eneng kan udah berjuang untuk mahasiswa, biar tehnya saya kasih buat Neng..”, mahasiswi yang ditolak bayarannya melongo, tak percaya, sekaligus tak tega. Dirinya memang mahasiswi perantau, tapi kiriman uang bulanannya bisa jadi masih lebih besar daripada penghasilan si penjual minuman kemasan itu selama sebulan.

Tapi demi melihat semangat membara yang tampak dari mata wanita penjual teh botol itu, ia lebih tak tega menolak penggratisan yang diterimanya. Wanita tua berjilbab lusuh itu berhak juga dihargai semangatnya untuk berjuang, serta keinginannya untuk ikut andil dalam perjuangan mahasiswa hari itu. Maka mahasiswi itu menjawabnya dengan senyum takzim, “MasyaAllah Bu Zaenab, jangan merepotkan ya. Tapi saya terimakasih banyak…”

“Iya Neng, ga usah dipikirin. Saya yang makasih, boleh nyumbang untuk mahasiswa..”

Bu Zaenab, begitu semua orang memanggilnya. Wanita jelang paruh baya itu setiap pagi menggelar dagangannya di teras tempat sholat wanita masjid ARH UI. Pakaiannya selalu lebar menutup aurat. Jika masuk waktu sholat, ia segera menutupi dagangannya, lalu berwudhu, dan selalu berada di shaf terdepan jamaah wanita. Setelah iqomat, ia segera berdiri bersiap sholat, namun tepat sebelum sholat tak lupa dia memandang ke barisan belakang.

“Sini Neng, rapatkan shaf, jangan sampai kosong. Itu tas nya yang di belakang, jangan ditinggal Neng! Hati-hati, sudah banyak kejadian yang kehilangan..”, sesekali ia mendatangi mahasiswi yang hampir lengah meninggalkan tasnya di bagian belakang masjid, sementara dirinya sholat di bagian depan. Sudah bukan rahasia lagi jika di masjid itu sesekali copet menyamar sebagai salah satu jamaah. Jika ada yang lengah barang sedikit, bukan tidak mungkin dompet, atau handphone, atau barang berharga lain bisa hilang. Miris memang, sebuha masjid besar di kampus terkenal seantero negeri, di pusat ibukota pula, bisa sebegitu tidak aman. Dan sebab berbagai pengalaman kehilangan itulah, Bu Zaenab selain berjualan minuman dalam kemasan, kadang merangkap sebagai merbot plus satpam di tempat sholat wanita itu. Maka tak heran jika ada tas yang dibiarkan tanpa pengawasan, dengan sigap bu Zaenab menjaga. Tak jarang jika ada mahasiswi yang kebingungan hendak berwudhu namun tak ada orang yang bisa menjaga tasnya, Bu Zaenab akan menawarkan diri untuk dititipi tas.

Di luar waktu sholat, ketika dagangannya sepi, ia mengeluarkan mushafnya, lalu membacanya lantang sambil menjaga dagangannya.
***

Belasan tahun berlalu, masjid Arif Rahman Hakim telah berganti nama menjadi Masjid Attauhid ARH UI. Bangunannya telah direnovasi total menjadi bangunan besar yang terdiri dari empat lantai. Ruang sholat utama telah dipindahkan ke lantai dua. Tak ada lagi teras di tempat sholat wanita. Dan tak ada lagi lapak dagangan minuman kemasan Bu Zaenab.

Masjid itu kini tak seramai belasan tahun lalu. Mahasiswa memang telah berkurang, tiga fakultas yang dulu masih menjadi penghuni kampus UI Salemba: Fakultas Kedokteran, Fakultas Ilmu Keperawatan serta Fakultas Kedokteran Gigi, telah memindahkan sebagian besar aktifitas pendidikannya di kampus Depok.

Ke manakah Bu Zaenab? Mulanya ia masih membuka lapaknya di samping pos satpam. Namun untuk turut di saf terdepan jamaah wanita ia sudah tidak sanggup lagi. Usia telah membuat lutut dan kakinya tak sanggup menaiki tangga menuju ruang utama masjid di lantai 2. Lantunan bacaan Qurannya pun tak lagi terdengar, sebab katarak telah membuat matanya tak lagi awas.

Jika saja sejarah mampu menulis ulang soal riwayat reformasi di negeri ini, seharusnya Bu Zaenab menjadi salah satu bagiannya. Ya, dialah wanita tua yang selalu setia mendoakan aksi mahasiswa, menyambut mereka sepulang aksinya, seolah menyambut seorang ksatria pulang dari medan pertempuran. Untukmu Bu Zaenab, kami haturkan sungkem layaknya seorang ananda kepada ibundanya..

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles