“Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa barakatuhu..”, dan wanita bergamis hitam dengan jilbab lebar hitam rapi itu membuka pembicaraan. Seluruh rombongan serentak membalas salamnya.
“Perkenalkan Ibu-ibu semua, nama saya Indah. Saya muthowifah yang akan membimbing Ibu-ibu semua ke Raudhoh malam ini”, ia melanjutkan sambil tersenyum manis, semanis warna bros manik-manik berkilap yang ia sematkan di jilbab lebarnya. Wajahnya terlihat berseri enak dipandang meski nyaris tanpa make up, hanya pelembab bibir dengan warna bersemu merah muda yang teroles di bibirnya.
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Ustadzah Indah terus menjelaskan tentang Raudhoh: taman surga, sebuah lokasi seluas sekitar 22 x 16 meter di dalam Masjid Nabawi, tak jauh dari mimbar Nabi SAW, dengan keutamaan luar biasa jika sholat dan berdoa di dalamnya. Raudhoh memang bagi jamaah wanita hanya dibuka pada pagi jam 9 hingga jam 11, dan malam jam 9 hingga jam 11. Pagi adalah waktu meanstream di mana jamaah sedang segar dan semangat, maka bisa ditebak pasti luar biasa penuh saat itu. Oleh karena itulah Ustadzah Indah mengajak jamaahnya berburu Raudhoh pada malam hari saja.
Enam belas wanita yang masing-masing sudah bersuami dan beranak yang ia pimpin menyimak seksama saat ia sebutkan tata cara, doa yang utama disebutkan serta tips berburu Raudhoh. Semua diminta meluruskan niat, memperbanyak sholawat serta istighfar.
Tepat jam sembilan malam, pintu masuk ke arah ruang utama masjid dibuka untuk jamaah wanita. Ustadzah Indah memberi isyarat untuk bergerak masuk tertib, tak usah berebut, sebab jamaah Indonesia, Malaysia serta negara Asia lain biasanya diberi antrian terakhir setelah jamaah negara lain semisal Turki, Arab serta India.
Sambil berjalan, tiba-tiba seorang ibu mendekat menggandeng Muthowifah berkacamata itu, dan bertanya: “Mbak Indah, sudah nikah? Suami ga protes ditinggal malem-malem begini?”
“Anaknya sama siapa kalau bertugas malam-malam begini?”, sambung yang lain.
Sebenarnya, sebelum pertanyaan ini, ibu-ibu itu sudah sejak tadi ngobrol mendekati Mbak Indah, soal kenapa orang Turki dan Arab didahulukan, mengapa hanya waktu tertentu wanita diijinkan masuk raudhoh. Pertanyaan penasaran, namun disampaikan dengan kalimat cair, sehingga cairlah jarak antara Muthowifah dengan jamaah yang dibimbingnya. Maka wajar pertanyaan berikutnya mulai menyangkut pribadi wanita lulusan pesantren di pulau Madura itu.
Dimulai dengan senyum ramah, ia akui saja, bahwa suaminya sedang bertugas ke Mekkah. Esok baru akan pulang. Ia telah sekitar 3 tahun menikah, namun belum dikaruniai anak, bahkan meskipun telah banyak buah kurma muda dikunyahnya.
“Ga apa-apa Ustadzah, belum rejekinya kali’. Ntar kita doain juga deh di Raudhoh biar cepet dapet momongan,” celetuk seorang Ibu. Dua ibu-ibu saling senggol, dengan mimik seolah berkata: Ih, si Ibu nih, nanya-nanya hal sensitif begitu, perempuan yang udah lama nikah dan belum dikaruniai anak kan bisa sensi kalau ditanya soal jumlah anak begitu?
“Tapi enak ya tinggal di sini, bisa sering-sering ke Raudhoh, doa banyak-banyak. Mau umroh juga tinggal naik bus, deket,” celetuk yang lain. Memudarkan penyesalan sebagian lain yang bertanya soal anak tadi.
“Iya Bu, memang enak tinggal di sini. Ayuk, ada yang mau ikut tinggal di sini sama saya? Tapi yang masih single atau suaminya sudah meninggal aja ya. Ntar kalau suaminya masih ada, terus ditinggal, ntar tau-tau nyari istri lagi lhoo Ibu-ibu..,” sambut Mbak Indah.
Waa, jangan dong Mbak Ustadzah! Rame komentar para ibu-ibu bermunculan.
Celotehan ringan di sepanjang perpindahan dari ruang luar menuju ruang utama itu berakhir saat askar wanita memberi isyarat agar semua jamaah Indonesia duduk lagi, menunggu hingga hampir satu jam, sampai semua jamaah yang lebih dahulu tiba di dalam menyelesaikan ritualnya.
“Iya Bu, namanya lelaki itu, beda sama perempuan. Ga bakalan bisa nahan syahwat lama-lama. Makanya jangan ditinggal kelamaan”, tambahnya sesaat.
Trus yang terpaksa LDR gimana Indah? Seorang jamaah kini memberanikan diri menyebut namanya langsung, setelah mengetahui ternyata umurnya lebih muda bahkan dari jamaah termuda dalam rombongan ini. “Haha, tapi ga semua kok. Ada juga sih katanya lelaki yang bisa lama-lama jauhan sama istrinya. Tetangga saya di kampung ada tuh yang begitu, tentara, ketemu istri sebulan sekali doang..”, komentarnya lagi menjawab riuh rendah pertanyaan Ibu-ibu.
“Dah, sekarang banyakin sholawat dan istighfar ya, supaya kita kebagian antrian. Kadang kalo kelamaan biasanya walaupun udah ngantri gini kita disuruh pulang karena udah malam..”, lalu ia pun memimpin jamaahnya bersholawat. Jamaah lain yang sebenarnya berbeda rombongan mau tak mau ikut bersholawat pelan, terbawa suasana.
Para Ibu-ibu jamaah Ustadzah Indah pun tenggelam dalam sholawat dan istighfar. Sambil sesekali menyelipkan doa lain.
Dan satu jam kemudian perjuangan untuk mencapai Raudhoh lalu sholat sunnat, berdoa, mengirim sholawat kepada Rasulullah, serta Umar dan Abu Bakar pun berlangsung. Kerja tim pun berlaku di dalam sana. Enam orang ibu sholat lebih dahulu, mendadak terbagi dua kelompok, rekan yang lain menjagalan tempat sujudnya. Rombongan jamaah lain pun sebenarnya akan menghindari berdesakan di tempat sujud itu jika tahu ada yang tengah sholat, refleks saling dorong akan berkurang jika terlihat di depan ada yang tengah sholat bahkan sujud lama tenggelam dalam doa. Seorang jamaah bahkan sengaja mengeraskan takbir setiap gerakan sholatnya, yang spontan membuat jamaah di depannya menoleh dan memberikan ruang untuknya melanjutkan sholat, meskipun ia tidak serombongan dengannya.
Antara ibu-ibu jamaah umroh, Raudhoh dan muthowifah kini telah terpeluk manisnya ukhuwah, berkat pertanyaan kepo, yang kemudian diakhiri nasehat bijak.
Satu obrolan ringan yang melunturkan rasa kantuk, satu tanya yang membuat lenyap jarak strata.
Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang, maka kewajiban tiap muslimlah untuk menyimaknya, menyerapnya, lalu menjadikannya bergerak dalam setiap inchi polah manusia. Petiklah hikmah dari manapun, dari siapapun, saringlah, lalu nikmati yang elok-elok saja. Ambillah hikmah, bahkan dari seorang Muthowifah yang secara usia biologis lebih muda, serta pengalaman hidup berumah-tangga yang lebih hijau.
Penulis: Sari Kusuma