Jam besar di tengah pelataran masjid sudah menunjukkan pukul 11.50, setengah jam lagi masuk waktu dhuhur. Dengan sigap para pria berseragam loreng abu-abu itu memasang pembatas di pintu utama: King Abdullah Gate. Para jamaah yang telah berbondong-bondong dengan penuh semangat pun tertahan. Satu-dua ngotot, mencoba bernegosiasi, ingin memaksa masuk, termasuk beberapa wanita berkulit putih dengan gamis dan hijab serba hitam. Perempuan Arab ini memang ‘tambeng’ ternyata! Puluhan hingga ratusan jamaah lainnya pasrah, memilih masuk melalui pintu lain, atau memilih menggelar sajadah di pelataran masjid. Tapi ada juga yang tetap berdiri di depan pintu, ramai-ramai menunggu jikalau tiba-tiba pembatas itu dibuka sebelum iqomat berkumandang. Kadang itu memang terjadi, tapi amat jarang.
Pelataran masjid memang masih luas, dan memang sudah lumayan penuh dengan jamaah yang memang memilih sholat di luar. Terik matahari pagi di akhir Desember itu jadi tak terasa, kalah dengan sejuknya musim dingin yang melanda di seluruh jazirah Arab.
Sekitar 4 orang lelaki -yang dari postur dan wajahnya tampak jelas- berbangsa Melayu bergerak maju, memaksa masuk. Para askar menahannya,”Laa, Haj!”, tegas mereka, sambil menggeleng dan melambaikan tangan: isyarat melarang keras mereka masuk.
Di dalam memang cukup penuh. Menjelang Jumat yang juga ayamul bidh ini, di dalam masjidil Haram memang luar biasa ramai. Area tawaf di lantai dasar saja sangat penuh sesak. Sampai-sampai para jamaah yang biasanya menahan dingin pun mulai berkeringat tanda gerah.
Sekelompok jamaah Melayu tersebut terus saja berusaha bernegosiasi. Namun para askar tetap teguh pada keputusan awal mereka.
Lalu, salah satu lelaki Melayu makin keras usaha negosiasinya, memohon dengan suara agak tinggi. Para askar terus saja menggeleng, melarang. Tiba-tiba lelaki tadi menangis meraung, terduduk, lalu sujud di kaki salah seorang askar, sambil terus menangis memohon. Sontak semua hadirin terpaku. Beberapa detik saja ia sujud menangis tersedu, sebelum kemudian para askar merangkulnya bangun, menuntunnya masuk, sambil mengangguk dengan senyum simpatik. Tak tega.
Si Melayu berjalan tertatih, seorang rekannya dengan name tag sewarna menuntun di sebelah yang lain. Berdua mereka diijinkan masuk oleh para askar. Sementara rekan serombongannya yang lain dibiarkan tertahan di pintu masuk.
Masih sesunggukan menangis, lelaki Melayu tadi bersandar sebentar di sebuah dinding masjid, berusaha menenangkan diri, masih dikawal para askar. Tak berapa lama ia pun masuk, langkahnya pincang tertatih..drama ini pun berakhir ketika ia tak lagi terlihat dari pandangan jamaah di luar gerbang itu.
“Saya sudah kasih tau dia, sudah saya larang, ini kan sebentar lagi waktu sholat, pasti kita tak bisa masuk. Tapi dia maksa juga. Dia itu sekarang kalau udah kemauannya susah dilarang,” jawab pria Melayu lain yang menunggu di luar Al-Haram.
Yup, Pria Melayu tokoh utama drama tadi memiliki tungkai, lengan dan mulut yang lemah sejak kecelakaan lalu lintas yang dialaminya dua tahun yang lalu. Bicaranya cadel, jalannya pincang, harus digandeng serta dituntun. Usianya 28 tahun sekarang, belum menikah, dan telah berhenti bekerja karena cacatnya. Dia terinspirasi untuk lebih sering berdoa di depan Ka’bah demi kesembuhannya.
Lelaki normal lain di usia yang sama mungkin telah mapan berpenghasilan tetap, mempersiapkan diri menunggu kelahiran anak kesekian dari istrinya. Lelaki di usia yang sama, mungkin sedang asyik menabung untuk membelikan rumah, kendaraan yang nyaman, atau sekedar hadiah bagi keluarga terkasihnya.
Lelaki di usia yang sama, mungkin tengah asyik melanjutkan pendidikan master di kampus almamaternya, atau menyelesaikan doktoral di luar negeri. Lelaki seusia yang sama, mungkin tengah istikhoroh mempertimbangkan satu nama calon istri untuk dilamar, sambil merencanakan seperti apa resepsi pernikahannya kelak.
Dan lelaki Melayu yang ini, malah tengah berdamai dengan keterbatasannya. Sambil tetap berikhtiar dengan doa serta ibadah terbaiknya demi kesembuhan. Ia masih berjuang dan bersabar.
……..
Maka nikmat Tuhan yang manakah yang hendak kita abaikan?
Penulis: Sari Kusuma