Saya punya kebiasaan killing time dengan ngajak orang sebelah ngobrol. Paling enak milih yang sudah lansia dan tak pegang gadget: ngobrolnya leluasa, ikhlas, dan mudah sekali dikorek infonya, memuaskan rasa kepo kongenital saya. Wajar jika dulu saya sempat jadi reporter media di kampus.
Pagi itu, di antara rasa jenuh 4 seri antrian menuju vaksin meningitis, duduklah saya di sebuah kursi kosong, di sebelah seorang lansia wanita berjilbab sederhana nan rapi.
“Assalamualaikum, kosong Bu?”
“Iya, silahkan. Nomor berapa?”
Saya perlihatkan nomor saya: 98. Dia senyum, menunjukkan nomornya: 35!
“Kapan berangkat umrohnya Neng?”
Dimulai dengan pertanyaannya itu, mengalirlah percakapan kami. Rupanya beliau berangakat jam setengah 6 dari Ciledug tadi, sementara saya berangkat jam 7.30 dari rumah.
“Yaa, pantes dapat nomor segitu. Makanya, pagi dong, langsung ke sini aja. Ngapain dulu tadi pagi?”, protesnya ramah, spontan, seperti seorang ibu yang menegur anak perempuannya yang bangun kesiangan.
“Bangunnya sih udah dari belum Subuh Bu, tapi kan ngurusin anak-anak dulu,” seperti anak yang merasa dituduh, saya membuat alasan. Haha, kami ini baru kenal, kok bisa seberani itu saling protes?
“Haaa? Udah punya anak? Emang berapa anaknya? Masih muda begini udah punya anak?”, mukanya berubah takjub. Dan makin takjub ketika saya sebutkan jumlah anak saya beserta umurnya masing-masing. Dia juga jadi bertanya suami saya mana: kok ga nganter? Tepat setelah dia bertanya begitu suami saya lewat setelah berhasil mampir di kantin.
Si Ibu makin takjub, lalu mulai makin kepo tentang umur kami berdua. Dan dia mulai menyimpulkan bahwa kami menikah muda. Setelah saya sebutkan umur saya dan suami, dia sedikit tersenyum.
“Iya, mending nikah jangan tunggu lama-lama. Ga usah nunggu kerja, mapan, punya rumah. Apalagi nanti itu anak kamu ada yang perempuan kan? Kalau udah usia baligh, belum lulus kuliah mau nikah, kasih aja!”, kini dia mulai memberi nasehat.
“Kalaupun hamil lalu melahirkan waktu kuliah, kan ada kamu ibunya bisa bantu urus anaknya. Mamanya masih muda ini. Menikah ga usah dipersulit, yang penting jodohnya baik, bertanggungjawab, soal yang lain nanti nyusul. InsyaAllah rejeki bisa dikejar,” saya mengangguk-angguk mengamini nasehatnya.
“Rejeki bisa dicari sama-sama pas udah nikah. Justru lebih enak mulai bareng-bareng dari bawah,” lanjutnya.
“Jangan dilarang-larang anak yang sudah mantap menikah. Daripada jadi zina? Hamil di luar nikah? Hiii, kasian bayinya ntar, susah statusnya”, tegasnya.
Saya mengamini nasehatnya.”InsyaAllah Bu,,” lalu nomor 35 pun dipanggil masuk ruang periksa. Dia pamit, saya mengangguk menjawab salamnya.
Dan beberapa pekan kemudian, saya membaca tulisan teman dokter anak yang merasa miris melihat pasien bayinya yang harus masuk NICU (ICU khusus bayi), sementara orang tua tak punya asuransi kesehatan apa pun. Disebabkan orang tua yang menikah di bawah umur, menikah siri tanpa surat dari KUA, terpaksa karena sang perempuan hamil sebelum nikah. Sebab usia mereka di bawah umur, maka tak berani mendaftar di KUA. Akibatnya, mereka tak punya surat nikah, tak punya Kartu Keluarga, lalu sang bayi pun tak bisa mengurus akte kelahiran, dan seterusnya urusan administratif dengan asuransi kesehatan nasional pun tak terurus.
Jadi, wahai para orang tua: Mari lanjutkan kerja kita menyiapkan anak-anak menjadi calon suami dan istri yang bertanggung jawab kelak.
Penulis: Sari Kusuma