Antara Jazirah Arab dan Semenanjung India

Mekkah memang indah, tak secuil pun bagian dari kota itu tak menarik. Setidaknya begitu menurut saya. Hotel tempat saya menginap pun walaupun bukan bintang lima, namun pelayanannya sangat baik. Jarak 1 kilometer hotel dari masjidil Haram jadi tak terasa sebab dalam perjalan tak ada pemandangan yang menyesakkan, tidak seperti jika saya street walking di Jakarta. Di Jakarta, saya pernah hampir menangis melihat seorang ibu menggendong bayi berlarian mengejar bus kota untuk bisa mengamen di dalamnya.

Hari itu, hari pertama saya tiba di Mekkah. Saya segera check in, meletakkan barang-barang di kamar, lalu segera turun menuju masjidil Haram untuk beribadah, sekaligus melihat-lihat situasi. Ini memang umroh saya pertama kali. I am a newbie here! Jadi saat itu, selain masuk masjid untuk ibadah, saya juga survey dan melihat-lihat situasi. Tidak seperti Nabawi, pintu di Masjidil Harom tidak dipisah antara ikhwan dan akhwat. Saya juga mempelajari di mana posisi hajar aswad, yamani, dan membuat siasat bagaimana cara bisa meraih dan mencium benda fenomenal itu. Setelah mulai faham medan, barulah saya kembali ke kamar, dan mulai merasa lapar. Saya harus segera ke resto hotel!

Memasuki resto hotel, seorang pria berpostur sedang saya pergoki sedang memandangi saya. Saya hanya balas sedikit senyum begitu kami tak sengaja bertatapan. Dari meja resepsionis resto, tatapannya tak pernah lepas, tatapan penasaran. Agak salting juga saya, dia hitam manis sih, bentuk mukanya juga familiar bagi saya: khas wajah India. Sebelas duabelas lah sama Salman Khan. (Eh!)

Hari berikutnya, saat sarapan, si Salman Khan hitam manis masih terlihat menatap saya penasaran. Namun kali ini dia berani mendekati muthowif saya yang bermukim di Makkah sehingga Bahasa Arabnya fasih tulen, dan bertanya. Bahasa Arab saya memang tidak sebagus English saya yang mungkin toeflnya sudah 500 ke atas, namun sedikit-sedikit saya bisa mengerti apa yang ditanyakan si India hitam manis itu.

Rupanya dia yakin saya orang India, walaupun muthowif sudah meyakinkannya bahwa kami rombongan dari Indonesia, dan saya orang Indonesia juga. Gemas dengan perdebatan ringan mereka, saya datang dan langsung menengahi,”Mera ma aur pita from India, lekina mai Indonesi me paida hua,” celetuk saya. Bahasa India saya memang tak sefasih inggris saya, tapi cukup membuat si Hitam manis berhenti bertanya, lalu nyaris melonjak kegirangan.

Saya bilang tadi: bapak dan ibu saya dari India, tapi saya lahir di Indonesia…

Makin girang lagi dia begitu saya sebutkan Karala, nama distrik asal orang tua saya di India. Ternyata dia juga berasal dari sana! What a small world! Ketemu sodara sekampung di negeri orang. Betapa sumringahnya saya waktu itu. Seperti menemukan adik yang sudah lama menghilang, dan dia seperti menemukan kakak kandung yang lama hilang!

Sejak hari itu, si Salman Khan -terus mengirimi saya makanan, dengan menu yang berbeda tiap harinya. Jika dia sedang off, makanan dia titip ke rekannya yang orang Bangladesh. Hari ketiga, dia kirimi saya ‘chicken albaik’, sejenis ayam goreng fast food ala Arab, tidak cuma satu: tapi 3 porsi sekaligus! Padahal satu porsi isinya tiga potong ayam dengan sepotong besar roti.

Hari berikutnya, saya berdiam di Masjid sejak Magrib hingga Isya. Dia pun mengkontak agar saya tak membeli makanan di luar sebab dia sudah belikan makan malam: Chicken Albaik! Tiada hari tanpa Chicken Albaik!

Bahkan saat hari kepulangan, si Salman Khan masih mengirimi Chicken Albaik, 3 porsi pula. Banyaknya! Albaik ini akhirnya saya bawa saja ke bandara, dimakan ramai-ramai dengan jemaah lain saja, pasti seru.

Ternyata di bandara kami mendapat albaik pula dari pihak travel. Maka albaik dari Hussein saya bawa saja pulang ke Jakarta, jadi tambahan buah tangan, dimakan ramai-ramai bersama keluarga. Alhamdulillah, sekeluarga jadi tahu rasanya ayam goreng cepat saji ala tanah Arab itu.
***

Mekkah memang kota penuh berkah. Setiap tahunnya 7 hingga 8 juta manusia medatanginya, ini nyaris sama dengan jumlah manusia yang memenuhi kota Jakarta setiap harinya. Dan setiap masa haji, masjidil Haram menampung hingga 1,5 juta jamaah setiap harinya.

Di luar musim haji, dari Indonesia saja rata-rata ada 1500 orang jamaah umroh berangkat setiap pekannya. Indonesia memang negara pengirim ‘turis ruhani’ terbesar ke sana, diikuti oleh Pakistan. Lalu, bagaimana dengan India? Di sana muslim memang bukan mayoritas.

Maka ketika saya berjumpa dengan si Salman Khan itu, rasanya luar biasa menggembirakan. Bayangkan: berapa kemungkinan seorang perantau dari India ini bertemu teman sekampung di tanah suci yang berjarak ribuan kilometer dari kampung halaman kami?

Dan berapa besar kemungkinan bahwa saudara senegara itu ternyata berasal dari distrik -analog dengan kecamatan di Indonesia- yang sama? Dan berapa besar kemungkinan bahwa saat bertemu pun akan saling menyapa, saling berkenalan, bertukar alamat, nomor kontak dan seterusnya?

Bukan main surpraisnya saya menemukan saudara sekampung di tanah suci itu. Hingga saya kembali ke tanah air, dan berselang beberapa tahun, saya dan Hussein -itulah nama asli si Salman Khan- masih sering bertukar kabar. Saat saya menikah pun dia saya undang. Dia memang tidak datang, maklum: manajer paling sibuk se Arab, tapi dia dengan tulus mengirim ucapan selamat dan salam kenal ke suami saya.

Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dari seorang Adam alahissalam. Adam menurut riwayat hadist Allah turunkan di daratan India, lalu bermigrasi ke jazirah Arab demi mencari Ibunda Hawa. Dan ribuan tahun kemudian, keturunan mereka berdua telah menjadi ratusan bangsa, suku, warna kulit, yang tersebar di seluruh penjuru muka bumi. Dan mengapa terasa pas sekali pertemuan saya dengan saudara sekampung itu: dua orang India bertemu kembali di Arab. Yang beda cuma masing-masing kami bertemu jodoh dengan orang yang lain. Murni, ini pertemuan ukhuwah, ukhuwah chicken albaik.

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles