SuaraJakarta.co, JAKARTA – Ketua Konfederasi Pergerakan Rakyat DKI Jakarta Rio Ayudhia Putra mempertanyakan sikap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” yang melarang aksi di istana negara. Pelarangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pergub Nomor 228/2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang telah disahkan pada 30 Oktober 2015 silam.
Rio menjelaskan Pergub tersebut bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Pasalnya, pada UU tersebut di Pasal 9 ayat 2 (a), menurut Rio, aksi di lingkungan di istana presiden dan wakil presiden memang dilarang. Namun, hal itu tetap mendapatkan pengecualian, yaitu dengan radius 100 meter dari luar pagar, sebagaimana tertera dalam Bab Penjelasan. Pun halnya dengan instalasi militer dengan radius 150 meter dan objek-objek vital nasional dengan radius 500 meter dari pagar luar.
“Dari penjelasan di atas, melakukan aksi unjuk rasa didepan istana presiden masih diperbolehkan dengan batas 100 meter dari pagar luar. Lantas mengapa AHOK melarang warga negara mengelar aksinya didepan istana?”, tanya Rio saat Konferensi Pers di Gedung LBH Jakarta, Jumat (6/11).
Sebagaimana diketahui, beberapa substansi dalam Pergub tersebut yang mengancam demokrasi, khususnya pada Pasal 4 dalam Pergub dinyatakan bahwa hanya ada 3 (tiga) titik yang dapat dipergunakan sebagai lokasi aksi unjuk rasa yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR/MPR dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas).
Oleh sebab itu, KPR menganggap Pergub Ahok ini adalah merupakan produk hukum abal-abal, cacat hukum, dan tak patut untuk dipatuhi.
“KPRI bersama Persatuan Rakyat Jakarta (PRJ) akan tetap menggelar aksi-aksi unjuk rasa pada 9 November 2015 di lokasi yang “telah dilarang” dalam Pergub No 228 Tahun 2015,” tegas Rio.