SuaraJakarta.co, JAKARTA – Belum selesai persoalan revisi RUU KPK, DPR kini kembali dihadapkan pada polemik baru berupa RUU Pengampunan Nasional. Dalam draft RUU tersebut yang paling menjadi persoalan adalah pada pasal 9 dan 10 yang berbunyi sebagai berikut (Merdeka Online, 7/10/2015)
Pasal 9
Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas di bidang perpajakan berupa:
a. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum diterbitkan ketetapan pajak.
b. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum undang-undang ini diundangkan.
c. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut dihentikan.
Pasal 10
Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.
Dikutip dari Harian Seputar Indonesia, Kamis (9/10), dengan disahkannya RUU ini, nantinya seorang yang telah diputuskan incratch oleh Pengadilan Tipikor hingga tingkat MA dapat dibebaskan jika uang hasil korupsinya tersebut bisa kembali utuh ke kas negara. UU ini, menurut Pakar Hukum Pidana pencucian uang Yenti Garnasih bertentangan dengan UU lainnya, yaitu UU Tipikor, yaitu pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi tidak menghapus kriteria terpidananya pelaku (pasal 4).
“Masa haril kejahatan perbankan, penyelundupan, korupsi, dan lain-lain dimaafkan dan sampai kapan? Nanti malah kontraproduktif. Maunya uang yang di luar negeri agar masuk, malah jangan-jangan orang jadi tambah berani melakukan kejahatan. Toh, suatu saat diampuni. Dan orang akan melarikan uang hasil kejahatan ke luar negeri agar terlindungi dengan RUU ini. Jadi, tidak sesuai lagi dengan tujuan asal RUU ini,” jelas Yenti.
Selain itu, Wakil Kepala Pusat Pelaporan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPATK) Agus Santoso menilai bahwa RUU Pengampunan Nasional (Tax Amnesty) ini kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi dan pidana perpajakan. Agus menilai, sebagaimana dikutip dari Harian Republika (Sabtu, 10/11) RUU ini tidak hanya bertabrakan dengan UU Tipikor, melainkan juga dengan banyak UU, misalnya UU TPPU, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Oleh karenanya, menurut Agus, kejahatan yang berasal dari korupsi dan pencucian uang akan dapat dihapuskan jika kerugian negara tersebut bisa dikembalikan ke kas negara.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar menilai RUU yang telah masuk baleg ini tidak banyak keuntungan yang bisa didapatkan oleh negara dari pengampunan pajak ini. Pasalnya, menurut Fickar, pajak yang dipotong hanya sebesar 3-8% dari harta yang dilaporkan, padahal sesuai UU Tipikor semua harta haram hasil dari kejahatan korupsi dapat diambil oleh negara.
Solusi untuk Mencapai Target Pajak?
Anggota Baleg Hendrawan Supratikno mengatakan jika RUU ini disetujui maka negara akan berhasil mengembalikan dana penunggak pajak yang ada di luar negeri sebesar Rp 7000 triliun. “Dana yang dibidik di atas kertas, skenario pesimis Rp 3.000 triliun, skenario optimisi Rp 7.000 triliun, kata Hendrawan sebagaimana dikutip dari Harian Republika (Jumat 9/10)
Hendrawan pun menambahkan target realisasi pajak masih jauh dari target sebesar Rp. 1.300 triliun, “Per September 2015 lalu target itu baru tercapat 51 persen. Padahal, 80 persen penerimaan negara berasal dari sektor pajak, “jelasnya sebagaimana dikutip dari Harian Rakyat Merdeka, Kamis (8/10)
Hendrawan menghitung saat ini dana yang bisa ditarik dari koruptor di luar negeri sebesar Rp. 3.000 – Rp. 4.000 triliun. Sedangkan, menurutnya, dana koruptor di dalam negeri yang memarkirkan uanganya di luar negeri bisa ditarik sebesar Rp. 2.000 – Rp. 3.000 triliun. “Totalnya, mencapai Rp. 7000 triliun,” jelas Hendrawan.
Sehingga, menurut Hendrawan, jika uang tersebut berhasil ditarik ke Indonesia, maka pajak dari investasi tersebut sangatlah besar. “Kalau duit itu berputar di Indonesia, maka itu investasi yang sangat besar. Pajak yang bisa diambil dari uang itu adalah 3 persen x Rp. 7.000 triliun = Rp 210 triliun, penarikan uang sebesar itu sangat berarti, makanya saya yakin Presiden Jokowi menyambut baik usulan ini,” jelas Hendrawan.
Senada dengan Hendrawan, dari pihak pemerintah pun mendukung disahkannya RUU ini. Menkumham Yasonna Laoly menilai bahwa RUU ini dapat mendongkrak perekonomian nasional. “Uang para pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri itu ditarik masuk ke Indonesia dan pada tahun berikutnya baru membayar pajak,”jelas Yasonna sebagaimana dikutip dari Harian Republika (10/11).