Oleh: Villarian, Ketua Biro Kajian PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, KOMFISIP) dan Pegiat Komunitas LiNTAS (Lingkar Studi Tangerang Selatan)
SuaraJakarta.co, OPINI – Hampir setiap hari kita selalu dihadapkan dengan berita-berita yang tak mengenakan, baik di media televisi, surat kabar, dan berita online. Sebut saja berita tentang asap Riau, yang tak kunjung adanya upaya pemerintah dalam proses hukum kepada empat perusahaan penyebab kebakaran lahan, dan berkicaunya negara tetangga. Yang baru-baru ini terjadi tentang upaya revisi undang-undang KPK, pernyataan menarik keluar dari mulut salah satu wakil ketua DPR dari Partai Keadilan Sejahtera. Yakni, Fahri Hamzah ia menyatakan bahwa orang-orang yang ingin membela KPK adalah orang-orang yang sok pahlawan dan menutupi borok KPK, lalu kita juga dikejutkan dengan dengan berita dari tangerang tentang pembacokan guru sekolah oleh muridnya, dan masih banyak lagi persoalan yang seolah tiada henti-hentinya membuat telinga kita terbiasa dan semakin melumrahkan adanya “kelaliman” tersebut.
Berita politik selalu tidak mengenakan, framingnya selalu soal konflik, kebobrokan, dan ketidak mampuan negara ini dalam menyelesaikan persolaan yang dihadapinya. Apa yang salah dengan negara ini? Apa yang mesti kita lakukan?, Menjawab pertanyaan demikian bukanlah perkara logika yang dapat menjawab dengan hitungan matematis, atau jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Persoalan sosial adalah persoalaan politik, persoalaan politik adalah persoalan ekonomi, dan persoalan ekonomi adalah persoalan semua orang, dan persoalaan semua orang secara konstitusional adalah persoalan yang musti dan memang dikerjaakan oleh Negara. Meski secara normatif setiap manusia memiliki tanggung jawab moral untuk saling bahu-membahu terhadap sesama mahkluk hidup.
Negara dan Fungsi
Dalam hal ini Negara sebagai institusi politik yang oleh hobbes dikatakan sebagai pemegang kekuasaan mutlak bertanggung jawab atas keteraturan, kesejahteraan dan segala bentuk tetek bengek kehidupan masyarakat, secara sederhana Negara adalah produsen sekaligus distributor keadilan. Dalam memproduksi keadilan negara memiliki beberapa pabrik sendiri, ada yang di eksekutif ‘(pemerintah)’, legislatif ‘(wakil rakyat)’, yudikatif ‘(lembaga hukum)’, pada substansinya tiga pabrik ini berupaya memproduksi keadilan sebagaimana yang resep telah rumuskan dalam konstitusi atau UUD 45. Tapi pada kenyataanya para pembangku kebijakan, dan para pejabat politik tidak menjalankanya sesuai mandat falsafah bangsa. Dapat kita generalisir bahwa negara semakin meunjukan orientasinya yang dipersempit pada logika pembangunan yang bersifat fisik dan kesejahteraan ekonomi dengan mengorbankan kedaulatan ideologi, kedaulatan ekonomi, dan politik yang berfalsafah.
Pada giliranya, hal yang seperti dimuka hadir menjadi sebuah ‘sintesa’ daripada apa yang dikerjakan oleh negara saat ini. Gerak sejarah membuktikan rezim orde barulah yang paling bertanggung jawab dari semua dekadensi. Tapi ada beberapa poin yang tentu mungkin penting untuk dipelajari dari apa yang orde baru lakukan, misal tentang penanaman nilai-nilai pancasila, walau dalam prakteknya orba menerjemahkanya dengan cara otoriter dan tidak demokratis. Banyak yang dikebiri oleh rezim orba demi menjaga legitimasi dan pembeneran kekuasaan. Kenyataan pahit masa orba tak pelak hilang begitu saja pasca reformasi, substansi budaya politik orba masih mengakar kuat hingga kini, meski muncul dalam penjelmaan wajah baru.
Jadi, bisa dikatakan politik Indonesia hari ini merupakan politik “Orde Baru Gaya baru”.
Gaya berpolitik ala Ratu Atut, pola KKN yang ia lakukan sebelas dua belas dengan apa yang dilakukan kebanyakan pejabat daerah era orba, jadi, ada pola yang kita mesti baca dari gerak sejarah yang nantinya dapat kita jadikan refrensi otentik buat mengubah budaya politik yang tengah berlangsung.
Manifestasi Budaya Politik
Banyak teori yang dapat kita gunakan buat membedah persoalan ini, jika para filsuf seperti hobbes dan locke berpendapat negara terdiri individu, lain halnya dengan mbah marx yang mengumandangkan teori besar bahwa negara terdiri dari kelas-kelas, tapi buat saya dalam konteks kekininan apa lagi kontek Indonesia, agak using rasanya menggunakan teori dan perlu pembaruan teoritis tetang masyarkat, weber berupaya menyingkap segala kompleksitas itu tapi Indonesia adalah studi kasus yang banyak sekali membuat keteteran para ilmuan. Tema-tema besar dalam politik banyak beranak pinak dari negara ini. Sampai detik ini budaya politik adalah acuan yang paling memungkinkan kita menyingkap tabir segala bentuk keputus-asaan penulis dalam membongkar politik Indonesia.
Jika kita analisis dengan pendekatan fenomonologis, dapat kita temui problematika keseharian kita hanyalah hal parsial, dari satu kesatuan ekses yang di gulirkan oleh proses politik. Jadi apa yang saya maksud di atas tentang gerak sejarah dan refrensi otentik, adalah bentuk proses dialektika politik yang termanifestasikan sebagai budaya politik yang dapat kita sangsikan hari ini. Hemat penulis kesenjangan yang demikian ekstrem ini adalah kenyataan yang harus secepatnya diubah oleh negara dan masyarakat oleh jalur pendidikan sebagai basis fundamental. Kesenjangan yang dimaksud bersifat multidimensi, ia berada dalam keadilan ekonomi, pendidikan, dan politik, yang paling mencengangkan penulis adalah kesenjangan intelektual, kesenjangan intelektualah yang kemudian berimplikasi pada tereduksinya makna politik dan kehidupan sosial. Kita seperti kehilangan marwah gotong royong yang tadinya adalah personalitas bangsa dan sekaligus menjadi identitas sosial.
Pendidikan Adalah Kunci
Pendidikan adalah kunci, dan kunci ini yang akan membuka gerbang ‘pencerahan’ bagi bangsa ini, tapi pendidikan pula yang menjaga kemunduran politik. Pendidikan memproduksi manusia-manusia yang bergantung pada siapa penguasa yang menjalankan proses pendidikan tersebut. Sejak awal tahun 2000-an kita melihat marak Sekolah Menengah Kejuruan berikut iklan-iklanya di Tv, dimana SMK ditampilkan sebagai pendidikan yang langsung diproyeksikan menjadi tenaga kerja professional. Disaat bersamaan pemerintah belum mampu melakukan menyerapaan tenaga kerja secara optimal, alhasil perusahaan outsourcing tumbuh subur di Indonesia, ketidak mampuan Negara mengoptimalisasikan BUMN dan menerjemahkan mandat konstitusi UU45 pasal 33, adalah karena sistem ekonomi politik kita yang bersebrangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Sebab keterlanjuran ini sudah berjalan sejak tahun 70-an akhirnya kita dapat manusia-manusia kapitalis bermunculan dalam ranah politik.
Lewat pendidikan kita harus berani menjawab persolan politik, dengan tidak hanya menggunakan ilmu politik, tapi juga filsafat politik sebagai entitas. para bapak bangsa telah mengajarkan seni berpolitik yang sedemikian indahnya bak senja yang di iringi angin sepoi di tepi pantai. Jangan sampai proses pembiaran terus-menerus terjadi dikalangan elite partai dan elit pemerintah, mereka-mereka yang diproduksi di era orba tidak ubahnya sebagai parasit yang menyebabkan kejumudan politik yang kian mendangkal dari makna filosofisnya. Pendidikan harus menjalankan tugasnya sebagai alat ‘pembebasan’, pembebasaan atas sistem ekonomi yang tidak adil dan hanya berpihakan pada investor, pembebasan atas segala bentuk penindasan, dan pendidikan harus merevolusi dirinya agar tak dijadikan alat kekuasaan negara, demi menjaga kepentingan para pemilik perusahaan yang mencari nafkah di negeri Indonesia tanpa memperdulikan kemanusiaan yang adil dan beradab.